INDONESIA–ku 73 tahun,
tebang pilih vs pilih tebang
Petani Nusantara secara serentak tanpa komando
tanam padi. Beda musim, tak jadi alasan. Rumpun padi mulai tunas. Muncul pula
rumput atau tanaman liar lainnya. Bahkan tampak lebih sejahtera.
Petani berlumpur-lumpur. Karena nasib, maka yang
panen pihak lain. Nasib petani penggarap. Berkat traktor tangan bantuan
presiden. Keringat tak begitu bercucuran. Muncul keringat lain.
Mulai bibit padi harus beli, memakai pupuk kimiawi,
sampai berkurangnya lahan produktif pangan. Pemerintah ahli janji bahwa padi
petani akan dibeli, sesuai HET atau pasal lainnya.
Petani makmur akan membuat pihak tertentu merasa
rugi. Apalagi kalau petani sejahtera. Bisa perang dingin. Pemerintah yang tak
pernah kekurangan akal – beda dengan stok nyali selalu kurang – ada saja akal
politiknya. Pihak lawan adalah manusia ekonomi, membuat bahagia pemerintah.
Terbayang kisah sukses duniawinya.
Memaparkan kisah sukses petani, berjilid,
berepisode sesuai periode pemerintahan. Barisan organisasi tani yang
berkonstribusi positif, tak mau kalah dengan laju juang partai politik. Semakin
banyak dan panjang barisan organisasi tani, bukti strata kesejahteraan. Petani menjadi
mandiri. Tak tergantung siapa yang jadi presiden, maupun menteri pertanian,
menteri pertanahan.
Perjuangan bangsa dan negara, di sisi lain
menampakkan wajah pahlawan kesiangan. Modal keringat orang lain, namun karena
nasib malah mempunyai nama. Beda dengan faham kerbau punya tanduk, sapi punya
susu. Pahlawan tanpa nama, pahlawan tak dikenal, pahlawan tanpa tanda jasa . .
. pahlawan devisa menghiasi wajah Nusantara.
Biaya politik, mahar politik, terutama yang
menggunakan jasa asing, merupakan langkah politik belah diri. Memporakperandakan
rukun bangsa. Bangsa yang besar adalah yang mampu menghargai jasa para pejuang
bangsa.
Sekarang jabatan penyelenggara negara ada harganya.
Harga eceran ter-rendah, harga promo sampai harga banting harga. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar