INDONESIA–ku 73 tahun,
lupa diri vs ingat kursi
Memodifikasi iklan, pariwara layar kaca tentang
obat gosok. Menjadi: “untuk negara koq coba-coba”. Sampai sekarang soal
gosok-menggosok masih manjur, membara dan membuat lalu lintas peradaban.
Hasilnya, apakah politik sebagai alat gosok. Atau sebagai obyek.
Terus terang, terang terus . . . koq jadi korban
iklan. Diperkuat lagi dengan ocehan: “kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Ini baru
jelas, tendensi olah kata.
Ketahanan ideologi anak bangsa pribumi memang anti
gores, anti licin, anti slip, anti lengket. Secara waktu aktif, masuk kategori
tidak tahan lama. Masih ada yang betah, lama-lama tahan lama. Sistem rékrutmen berlaku,
berjalan internal. Metodenya, cari yang paling menguntungkan dan mendatangkan
keuntungan.
Wabah politik semu, semakin membara. Terbawa sampai
mimpi di siang bolong. Terbukti, tidak monopoli kaum pria, lelaki, laki-laki. Pria
brewok tulang lunak tak kalah garang dengan pecundang lainnya.
Kurang yakin dengan potensi TKDN (tingkat komponen
dalam negeri). Langkah catur politik menjadi bebas aktif. Wajar jika asupan energi
asing, intervensi idelogi asing sampai suntikan modal asing mewarnai merahnya
merah-putih.
Kerupuk yang belum laku di kaleng yang dititipkan
di warung rakyat, tak perlu ganti. Satukan dengan kerupuk segar di kaleng induk,
maka akan terbawa segar lagi. Ikhwal ini menginspirasi bahwa mantan warga
binaan, apa pun pasal hukum yang dlanggarnya, jika kembali ke partai
politiknya, akan segar kembali. Siap jadi kapal keruk, minimal tukang keruk bagi
perusahaan.
“Maju terus, pantang mundur”, ‘rawé-rawé rantas, malang-malang mundur’ menjadi semboyan
kawanan parpolis. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar