Halaman

Senin, 13 Agustus 2018

INDONESIA–ku 73 tahun, lupa diri vs ingat kursi


INDONESIA–ku 73 tahun, lupa diri vs ingat kursi

Memodifikasi iklan, pariwara layar kaca tentang obat gosok. Menjadi: “untuk negara koq coba-coba”. Sampai sekarang soal gosok-menggosok masih manjur, membara dan membuat lalu lintas peradaban. Hasilnya, apakah politik sebagai alat gosok. Atau sebagai obyek.

Terus terang, terang terus . . . koq jadi korban iklan. Diperkuat lagi dengan ocehan: “kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Ini baru jelas, tendensi olah kata.

Ketahanan ideologi anak bangsa pribumi memang anti gores, anti licin, anti slip, anti lengket. Secara waktu aktif, masuk kategori tidak tahan lama. Masih ada yang betah,  lama-lama tahan lama. Sistem rékrutmen berlaku, berjalan internal. Metodenya, cari yang paling menguntungkan dan mendatangkan keuntungan.

Wabah politik semu, semakin membara. Terbawa sampai mimpi di siang bolong. Terbukti, tidak monopoli kaum pria, lelaki, laki-laki. Pria brewok tulang lunak tak kalah garang dengan pecundang lainnya.

Kurang yakin dengan potensi TKDN (tingkat komponen dalam negeri). Langkah catur politik menjadi bebas aktif. Wajar jika asupan energi asing, intervensi idelogi asing sampai suntikan modal asing mewarnai merahnya merah-putih.

Kerupuk yang belum laku di kaleng yang dititipkan di warung rakyat, tak perlu ganti. Satukan dengan kerupuk segar di kaleng induk, maka akan terbawa segar lagi. Ikhwal ini menginspirasi bahwa mantan warga binaan, apa pun pasal hukum yang dlanggarnya, jika kembali ke partai politiknya, akan segar kembali. Siap jadi kapal keruk, minimal tukang keruk bagi perusahaan.

“Maju terus, pantang mundur”, ‘rawé-rawé rantas, malang-malang mundur’ menjadi semboyan kawanan parpolis. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar