INDONESIA–ku 73 tahun, Merdeka!
Merdeka! Merdeka!
Putra-putri asal daerah, anak bangsa pribumi,
karena daya ideologinya mampu secara total menikmati buah kemerdekaan. Rasa syukurnya
jauh di atas rata-rata syukur nasional. Rasa syukur betul-betul dalam bentuk sebuah
pesta kemenangan.
Akumulasi anéka mégabencana versi 2014-2019, akibat
syahwat politik menjadikan lawan politik sebagai musuh negara. Modusnya lebih
seksama daripada yang dipraktikkan penguasa Orde Lama maupun Orde Baru. Total kopral,
lebih brutal. Agar tampak bersih diri, pemerintah memelihara media sosial
sebagai ajang tarung generasi pewaris masa depan.
Pemain watak, ahli manipulasi diri menjadi syarat
adminsitrasi untuk menjadi kawanan sebuah partai politik. Bukan sekedar
aktivis, penggembira, relawan, juru sorak, tukang keplok atau tukang klèbèt
bendera.
Mégaèfèk negara multipartai, cuma kader kutu loncat,
kecil! Tunggu angin baik, baru bertindak, wajar. Hidup harus pandai-pandai. Jangan
menunggu perubahan.
Méntal revolusi, menyebabkan manusia politik tak
betah di antrian. Maunya, panen sebelum waktunya. Tata niaga politik
mengutamakan uang muka. Siapa berani, sanggup bayar lunas di depan, langsung duduk
di kursi barisan depan.
Keserakahan manusia politik dapat dilihat pada langkah
tidak melakukan pengkaderan, pembibitan. Pendidikan politik diartikan
menyiapkan dinasti politik. Tidak memberi kesempatan generasi pewaris bangsa
untuk merdeka. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar