Halaman

Kamis, 23 Agustus 2018

dilema akhir periode, kencangkan ikat pinggang vs kendorkan saraf politik


dilema akhir periode, kencangkan ikat pinggang vs kendorkan saraf politik

Rakyat. Tanpa émbél-émbél. Kendati ada sebutan rakyat gémbél. Abaikan, karena masuk ranah politik pencitraan alias manipulasi ketidakpercayaan diri.

Kata ‘rakyat’ hanya bisa tampak di permukaan syahwat politik dalam negeri, dalam bentuk DPR, MPR. Perannya dalam praktik demokrasi, tak mengalami perubahan yang berarti. Jangan lupa kecilnya bantuan politik untuk partai politik dihitung berdasarkan perolehan suara.

Cinta tanah air yang diwujudkan rakyat bisa dalam bentuk sedekah rakyat. Misal, rakyat yang sudah menggunakan hak pilihnya wajib setor sekian ribu Rp ke wakilnya, sesuai tingkatan keterwakilan. Amal bakti rakyat.

Rasanya, tiga alenia di atas, tak ada kaitan nyata dengan judul.

Kembali ke hakikat rakyat. Karena faktor sosial, ekonomi, hukum dan yang tak bisa diabaikan yaitu faktor politik. Akhirnya rakyat sadar sederhana. Tak perlu komando apalagi dengan proyek percontohan.

Rakyat yang terbiasa menyalahi peraturan kesehatan, yaitu idealnya makan 3x sehari semalam. Dengan sengaja dan tahu diri malah hanya makan sehari sekali. Minumannya bukan minuman sesuai anjuran pariwara, iklan yang sesat menyesatkan.

Misal, air kelapa tua muda, bisa diteguk langsung dari buahnya. Tak perlu tunggu proses produksi, pabrikan. Air kosong (bahasa Malaysia) bisa diciduk langsung dari sumbernya. Mata air alami. Tak perlu menunggu dalam kemasan aneka bentuk dan volume.

Rakyat bersyukur. Jiwa raga yang cinta tanah air, sudah mampu menjaring dan menyaring, mencegah tangkal intervensi politik asing. Budaya Nusantara sebagai filter dan karantina yang berdaya guna dan berhasil guna.

Masalahnya, kalau politik lokal rasa impor, dibawa dan dibawakan oleh penguasa, lain cerita dan derita. Tak perlu bukti. Lihat saja, jika sila-sila Pancasila termarjinalkan secara formal, terselubung, menerus.

Ketika ulama dirangkul dan sekaligus didengkul. Ketika ulama digebuk dan sekaligus diajak main rebuk. Ketika ulama dikriminalisasi dan sekaligus diajak berkongsi. Ini efek domino dari melèk politik penguasa.

Bukan begitu kawan. Rakyat sudah kenyang dengan aneka intimidasi berbasis politik praktis. Suara rakyat tidak sekedar bisa dibeli. Lebih luwes lagi, bisa dikendalikan, diarahkan, disesuaikan dengan kebutuhan dan atau kepentingan pihak tertentu.

Periode 2014-2019 bukan sekedar pembisik yang beraksi. Pemerintah sepertinya terikat kontrak menjalankan skenario berlapis. Musuh rakyat yang dinamakan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan atau sesuai program/kegiatan pemerintah, tidak serta merta menjadi musuh pemerintah. Praktik pengusaha berkolaborasi dengan penguasa, sampai tingkat desa/kelurahan bahkan RT/RW, wajar dan masuk akal.

Pemerintah lebih mewaspadai lawan politik. Soal ada kelompok kriminal bersenjata, karena jauh dari ibukota negara atau menyangkut HAM, pemerintah tahu betul pasal utama dan pasal pelipur lara.

Doa rakyat . . . [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar