INDONESIA–ku 73 tahun,
ulama Nusantara vs ulama Nusantara
Bukan Indonesia namanya, kalau ‘anèh tapi nyata’ tidak dipelihara oleh negara. Didaulat menjadi bagian
integral dari ramuan ajain revolusi mental. Masuk pasal tak resmi dalam setiap
UU. Usulan pemerintah dan atau inisiatif wakil rakyat nasional. Tak sadar
menjadi menu utama politik.
Waktu efektif periode presiden dan tentunya wakil
presiden, agaknya hanya pada paruh waktu awal. Sisanya, untuk tunggu bola liar,
tunggu waktu, tunggu bel berbunyi, tunggu nasib, tunggu aba-aba, tunggu
kebijakan wasit . . . sampai tunggu angin surga.
Pasca bergulirnya reformasi yang mulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998. Menu politik ‘anèh tapi nyata’ semakin hambar dan
memancing tawa getir pelakunya. Terjadilah negara multipartai, multipilot.
Periode 1999-2004 terjadi pergantian presiden di
tengah jalan, belum jatuh tempo. Bukan pada aturan main. Melahirkan pemain yang
syahwat politiknya jauh di atas ambang normal sebagai negara yang sedang,
selalu, akan berkembang.
Pengamat politik, dari kaliber non-standar sampai kaliber
internasional, mengendus sosok SBY 2004-2009 dan 2009-2014 hanya pada daya
ideologinya saja. Naluri, nalar, logika, insting militer tak diperhitungkan. Jenuh
dengan gaya penguasa tunggal Orde Baru. Tukang komen, aneka ujaran, ahli ulasan
yang sungguh anèh, tapi tanpa nyata yang nyata. Manusia macam ini
dibutuhkan oleh negara atau penguasa yang sedang kontrak politik.
Anak bangsa pribumi, ternyata nyatanya secara
ideologi masih primitif. Rakyat sudah melek politik dan bugar wawasan
Nusantara. Pihak pemenang pesta demokrasi malah secara sadar, yakin, sehat, terencana
mengkerdilkan diri. Dipajang untuk duduk di kursi komersial, malah bangga tepuk
jidat.
Barangsiapa mengatakan bahwasanya di periode
2014-2019, anggaran sudah defisit, minus tapi target fisik dan sasaran
fungsional belum sesuai rencana. Utamakan wibawa negara. Pemerintah merasa
telah mensejahterakan rakyatnya. Terbukti, untuk urusan garam dapur rakyat
terasa rasa kualitas impor.
Relawan mampu mengendus, melacak kinerja Jokowi
plus minus JK, di tahun pertama mampu menyalip kinerja 2 (dua) periode SBY
sedemikian kinclong dan mencorongnya. Tak terasa efek domino revolusi mental
membuat sibuk awak KPK.
Nyata tapi sudah tidak aneh lagi. Paruh kedua atau
terakhir. Penguasa merasa anti-gores, anti-goyang, anti-lengket. Mencari kawan
bermain. Sama-sama mengadu nasib. Bukan mengikuti gaya dan jejak presiden
keenam RI.
Bukan mencari yang terbaik dari sisa, buangan,
ampas revolusi mental. Sudah tidak ada yang lebih mustahil. Makanya, rangkullah
ahli yang bisa main di nikmat dunia dan sekaligus punya siasat, strategi mengelola
urusan akhirat. Agar tampak seimbang.
Namanya politik Bung . . . Kambing hitam asal
bertanduk, berjanggut. Waspadai modus serudukan, bijikan dan gocèkannya. Utama pada bisa politiknya. Terselubung
atau tersamar petuah kebajikan. Serum politik membuat orang lupa diri. Lupa jati diri. Tapi ingat
kursi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar