Halaman

Jumat, 10 Agustus 2018

INDONESIA–ku 73 tahun, ulama Nusantara vs ulama Nusantara

INDONESIA–ku 73 tahun, ulama Nusantara vs ulama Nusantara

Bukan Indonesia namanya, kalau ‘anèh tapi nyata’ tidak dipelihara oleh negara. Didaulat menjadi bagian integral dari ramuan ajain revolusi mental. Masuk pasal tak resmi dalam setiap UU. Usulan pemerintah dan atau inisiatif wakil rakyat nasional. Tak sadar menjadi menu utama politik.

Waktu efektif periode presiden dan tentunya wakil presiden, agaknya hanya pada paruh waktu awal. Sisanya, untuk tunggu bola liar, tunggu waktu, tunggu bel berbunyi, tunggu nasib, tunggu aba-aba, tunggu kebijakan wasit . . . sampai tunggu angin surga.

Pasca bergulirnya reformasi yang mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Menu politik ‘anèh tapi nyata’ semakin hambar dan memancing tawa getir pelakunya. Terjadilah negara multipartai, multipilot.

Periode 1999-2004 terjadi pergantian presiden di tengah jalan, belum jatuh tempo. Bukan pada aturan main. Melahirkan pemain yang syahwat politiknya jauh di atas ambang normal sebagai negara yang sedang, selalu, akan berkembang.

Pengamat politik, dari kaliber non-standar sampai kaliber internasional, mengendus sosok SBY 2004-2009 dan 2009-2014 hanya pada daya ideologinya saja. Naluri, nalar, logika, insting militer tak diperhitungkan. Jenuh dengan gaya penguasa tunggal Orde Baru. Tukang komen, aneka ujaran, ahli ulasan yang sungguh anèh, tapi tanpa nyata yang nyata. Manusia macam ini dibutuhkan oleh negara atau penguasa yang sedang kontrak politik.

Anak bangsa pribumi, ternyata nyatanya secara ideologi masih primitif. Rakyat sudah melek politik dan bugar wawasan Nusantara. Pihak pemenang pesta demokrasi malah secara sadar, yakin, sehat, terencana mengkerdilkan diri. Dipajang untuk duduk di kursi komersial, malah bangga tepuk jidat.

Barangsiapa mengatakan bahwasanya di periode 2014-2019, anggaran sudah defisit, minus tapi target fisik dan sasaran fungsional belum sesuai rencana. Utamakan wibawa negara. Pemerintah merasa telah mensejahterakan rakyatnya. Terbukti, untuk urusan garam dapur rakyat terasa rasa kualitas impor.

Relawan mampu mengendus, melacak kinerja Jokowi plus minus JK, di tahun pertama mampu menyalip kinerja 2 (dua) periode SBY sedemikian kinclong dan mencorongnya. Tak terasa efek domino revolusi mental membuat sibuk awak KPK.

Nyata tapi sudah tidak aneh lagi. Paruh kedua atau terakhir. Penguasa merasa anti-gores, anti-goyang, anti-lengket. Mencari kawan bermain. Sama-sama mengadu nasib. Bukan mengikuti gaya dan jejak presiden keenam RI.

Bukan mencari yang terbaik dari sisa, buangan, ampas revolusi mental. Sudah tidak ada yang lebih mustahil. Makanya, rangkullah ahli yang bisa main di nikmat dunia dan sekaligus punya siasat, strategi mengelola urusan akhirat. Agar tampak seimbang.

Namanya politik Bung . . . Kambing hitam asal bertanduk, berjanggut. Waspadai modus serudukan, bijikan dan gocèkannya. Utama pada bisa politiknya. Terselubung atau tersamar petuah kebajikan. Serum politik membuat orang lupa diri. Lupa jati diri. Tapi ingat kursi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar