Halaman

Jumat, 03 Agustus 2018

INDONESIA–ku 73 tahun, angka statistik vs asumsi historis


INDONESIA–ku 73 tahun, angka statistik vs asumsi historis

Konon, menurut tutur yang empunya cerita. Rambu-rambu berbangsa, bernegara, bermasyarakat: “awas bahaya korupsi”, dianggap wajar. Ora ngèpèk bar blas.

NKRI sebagai negara multipartai, siaga dan terbiasa dengan mégaéféknya. Kebal dengan bencana politik yang melanda silih berganti. Pencetusnya masih itu-itu saja. Masih dia-dia saja. Seolah stok habis. Tak ada yang lebih bawah lagi.

Pejuang jauh waktu  sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan satu tekad: merdeka. Sambil menggalang rasa nasionalisme. Pejuang tak merasa berjasa atas aneka bentuk pengorbanan yang dinikmati generasi demi generasi.

Syahwat politik menjadikan format dan rumusan berjuang untuk nusa bangsa, hanya bisa ditempuh liwat jalur dan atau kendaraan partai politik. Presiden kedua RI gemilang membuktikan keampuhan kendaraan politik. Sampai sekarang hanya berubah karoseri, menjadi Partai Golongan Karya.

Andil penguasa tunggal Orde Baru, selain mendendangkan Pancasila Sakti, mampu menyatukan menu politik ‘Naskom’ Orde Lama melalui penyederhanaan jumlah partai.

Akhirnya, perjuangan pemerintah secara konstitusional adalah menghitung mundur jargon masyarakat adil, makmur, sejahtera. Peran dan posisi kepala negara, di periode 2014-2019 mengalami kejelasan, hanya sebagai petugas partai. Muncul koalisi parpol pro-pemerintah. Di luar kawanan tadi, masuk kategori “musuh negara”.

Rakyat berharap, dengan munculnya presiden kedelapan RI, akan menurunkan kerapan bencana politik. Minimal bangsa dan negara bisa bersatu, menghadapi musuh bersama. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar