INDONESIA–ku 73 tahun,
angka statistik vs asumsi historis
Konon, menurut tutur yang empunya cerita. Rambu-rambu
berbangsa, bernegara, bermasyarakat: “awas bahaya korupsi”, dianggap wajar. Ora ngèpèk bar blas.
NKRI sebagai negara multipartai, siaga dan terbiasa
dengan mégaéféknya. Kebal dengan bencana politik yang melanda silih berganti. Pencetusnya
masih itu-itu saja. Masih dia-dia saja. Seolah stok habis. Tak ada yang lebih bawah
lagi.
Pejuang jauh waktu sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan
satu tekad: merdeka. Sambil menggalang rasa nasionalisme. Pejuang tak merasa
berjasa atas aneka bentuk pengorbanan yang dinikmati generasi demi generasi.
Syahwat politik menjadikan format dan rumusan
berjuang untuk nusa bangsa, hanya bisa ditempuh liwat jalur dan atau kendaraan
partai politik. Presiden kedua RI gemilang membuktikan keampuhan kendaraan
politik. Sampai sekarang hanya berubah karoseri, menjadi Partai Golongan Karya.
Andil penguasa tunggal Orde Baru, selain
mendendangkan Pancasila Sakti, mampu menyatukan menu politik ‘Naskom’ Orde Lama
melalui penyederhanaan jumlah partai.
Akhirnya, perjuangan pemerintah secara
konstitusional adalah menghitung mundur jargon masyarakat adil, makmur,
sejahtera. Peran dan posisi kepala negara, di periode 2014-2019 mengalami
kejelasan, hanya sebagai petugas partai. Muncul koalisi parpol pro-pemerintah. Di
luar kawanan tadi, masuk kategori “musuh negara”.
Rakyat berharap, dengan munculnya presiden
kedelapan RI, akan menurunkan kerapan bencana politik. Minimal bangsa dan
negara bisa bersatu, menghadapi musuh bersama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar