Halaman

Rabu, 29 Agustus 2018

demokrasi Nusantara, hujan tak merata vs banjir lokal


demokrasi Nusantara, hujan tak merata vs banjir lokal

Apapun rumusan ajaib demokrasi ala Indonesia, cuma teori. Setiap kepala sama hitam bisa mengajukan lebih dari satu pendapat. Diadakan lomba susun demokrasi dari bahan baku yang ada di Nusantara.

Hebatnya lagi, demokrasi bak kondisi lalu lintas di jalan. Tak bisa disimpulkan atau dijadikan pernyataan. Karakter jalan tidak sesuai fungsinya. Pengguna merasa sudah bayar pajak. Bebas pilih jalur.

Rambu-rambu lalu lintas, sebagai uji nyali. Bangga bisa melanggar. Tak ada sumpah dan janji jabatan sopir, pengemudi maupun pejalan kaki. SIM membatasi periode waktu aktif.

Semakin banyak partai politik ikut main politik, semakin banyak bilangan pembagi. Masih ingatkah kawan akan kalkulasi politik. Tak ada fitur minus (–) apalagi tanda bagi (:) di kalkulator manusia politik. Rumus sederhana: kalau bisa semua, mengapa cuma sebagian saja. Kalau bisa disantap habis, mengapa harus ada yang disisakan, disisihkan. Kalau bisa dikuras tuntas; dikeduk, dikeruk sampai kerak, intip, itulah yang dicari.

Walhasil, siapa yang memperolah suara pemilih terbanyak, berarti yang baik, benar, bagus. Pemenang pesta demokrasi segala jenis, merasa punya hak paling besar, paling banyak. Juara umum otomatis merasa berhak mendapat jatah utama, porsi terbesar, bagian terbanyak.

Dana desa bukan mewakili pengkaplingan peta politik. Hukum air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, pengaruh daya tarik bumi, grafitasi. Daya lokal, menentukan kemampuan serap, hisap, sedot manusia politik. Air bisa mengalir ke atas.

Serakah politik sudah melampaui ambang batas kesabaran alam. Manusia (serigala) politik dimana pun bercokol, mampu “menentukan” kebijakan alam. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar