mewujudkan peradaban
ideologi Nusantara
Cadangan rasa malu yang masih tersisa di kandung
badan anak bangsa pribumi. Kadar keprimitifannya menunjukkan rasa malu tidak
menjadi sumber daya, sumber energi, pedoman tindak cegah tangkal agar tidak
keperosok ke lubang penjara.
Format rasa malu diberlakukan secara formal,
individual sampai komunitas bangsa. Malu untuk berbuat baik dan benar. Takut dikira
sok suci. Degradasi ‘rasa malu’ sampai masuk level minder dengan segala atribut
kenegaraan. Merasa kalah klas, kalah pamor, kalah strata, kalah garang.
Wajar, di periode 2014-2019, bangsa Indonesia
merasa minder total, minder komplit menghadapi bangsa asing di negeri sendiri. Soal
serbuan TKA, itu pasal khusus. Bangsa asing yang diundang, menjadi tamu negara,
diharapkan kemurahan hati untuk menggelontorkan batuan utang.
Penulis jadi bingung. Rasa malu seolah tak ada kaitannya
dengan rasa rendah hati. Bangga menjadi warga binaan aktif kasus tipikor maupun
penyandang predikat mantan napi koruptor.
Malu menggunakan ideologi dalam negeri dengan
komponen lokal. Kalah bersaing di bursa internasional. Wajar jika ada konflik
internal di lingkungan pewaris ‘nasakom’. Ikhwal ini, rakyat yang buta politik,
sudah memaklumi sebagai kejadian yang biasa, wajar, alami sekaligus manusiawi. Namanya
hukum politik.
Hukum keseimbangan menegaskan, semakin pemimpin
jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya sila-sila
Pancasila. Ingat, secara historis rumusan, jabaran Pancasila digali dari
tatanan bermasyarakat. Pergaulan, interaksi sosial, poltik, ekonomi antar
rakyat.
Ketika sebuah partai politik perusahaan keluarga,
mendadak ingat akan sila pertama Pancasila. Jadi selama ini dikemanakan sang
sila pertama tersebut. Atau karena kebijakan oknum ketua umum dengan hak
prerogatifnya, ororiternya, sudah punya dasar ideologi selain Pancasila.
Pancasila memang sebagai ideoligi nasional. Praktiknya,
tidak bulat, utuh. Pakai asas ekonomi, pilah pilih yang menguntungkan. Agar naik
peringkat, bisa transfer ideologi asing. Seperti zaman Orde Lama, dengan menu
politik nasional: ‘nasakom’.
Aliran darah ideologi memang terwariskan ke anak
cucu. Kendati sang pewaris tidak harus mendirikan sebuah perusahaan keluarga
yang berlabel partai politik.
Anak bangsa Nusantara yang titel akademisnya
melebihi panjang nama diri, sibuk mengoplos kata dan kalimat heroik, patriotik.
Sampah kalimat mereka bertebaran di media sosial. Menjadi ciri bangsa yang
rendah budi.
Ironis binti miris, manusia dan atau orang politik
di Nusantara, mendaulat bahwasanya jabatan ketua umum sebuah partai politik
sebagai syarat pertama dan utama ikut pemilihan presiden. Kalau tak mampu,
pakai tangan orang lain. Akhirnya, jabatan presiden dianggap hanya sebatas
petugas partai.
Katakan seadanya. Perjalanan Pancasila sejak
dideklarasikan 1 Juni 1945. Liwat koridor Orde Lama. Tempaan era Orde Baru. Semakin
nyata berkat olahan reformasi. Klimaksnya dengan daya pikat revolusi mental. Kemana
saja Pancasila . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar