Halaman

Sabtu, 18 Agustus 2018

mewujudkan peradaban ideologi Nusantara


mewujudkan peradaban ideologi Nusantara

Cadangan rasa malu yang masih tersisa di kandung badan anak bangsa pribumi. Kadar keprimitifannya menunjukkan rasa malu tidak menjadi sumber daya, sumber energi, pedoman tindak cegah tangkal agar tidak keperosok ke lubang penjara.

Format rasa malu diberlakukan secara formal, individual sampai komunitas bangsa. Malu untuk berbuat baik dan benar. Takut dikira sok suci. Degradasi ‘rasa malu’ sampai masuk level minder dengan segala atribut kenegaraan. Merasa kalah klas, kalah pamor, kalah strata, kalah garang.

Wajar, di periode 2014-2019, bangsa Indonesia merasa minder total, minder komplit menghadapi bangsa asing di negeri sendiri. Soal serbuan TKA, itu pasal khusus. Bangsa asing yang diundang, menjadi tamu negara, diharapkan kemurahan hati untuk menggelontorkan batuan utang.

Penulis jadi bingung. Rasa malu seolah tak ada kaitannya dengan rasa rendah hati. Bangga menjadi warga binaan aktif kasus tipikor maupun penyandang predikat mantan napi koruptor.

Malu menggunakan ideologi dalam negeri dengan komponen lokal. Kalah bersaing di bursa internasional. Wajar jika ada konflik internal di lingkungan pewaris ‘nasakom’. Ikhwal ini, rakyat yang buta politik, sudah memaklumi sebagai kejadian yang biasa, wajar, alami sekaligus manusiawi. Namanya hukum politik.

Hukum keseimbangan menegaskan, semakin pemimpin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya sila-sila Pancasila. Ingat, secara historis rumusan, jabaran Pancasila digali dari tatanan bermasyarakat. Pergaulan, interaksi sosial, poltik, ekonomi antar rakyat.

Ketika sebuah partai politik perusahaan keluarga, mendadak ingat akan sila pertama Pancasila. Jadi selama ini dikemanakan sang sila pertama tersebut. Atau karena kebijakan oknum ketua umum dengan hak prerogatifnya, ororiternya, sudah punya dasar ideologi selain Pancasila.

Pancasila memang sebagai ideoligi nasional. Praktiknya, tidak bulat, utuh. Pakai asas ekonomi, pilah pilih yang menguntungkan. Agar naik peringkat, bisa transfer ideologi asing. Seperti zaman Orde Lama, dengan menu politik nasional: ‘nasakom’.

Aliran darah ideologi memang terwariskan ke anak cucu. Kendati sang pewaris tidak harus mendirikan sebuah perusahaan keluarga yang berlabel partai politik.

Anak bangsa Nusantara yang titel akademisnya melebihi panjang nama diri, sibuk mengoplos kata dan kalimat heroik, patriotik. Sampah kalimat mereka bertebaran di media sosial. Menjadi ciri bangsa yang rendah budi.

Ironis binti miris, manusia dan atau orang politik di Nusantara, mendaulat bahwasanya jabatan ketua umum sebuah partai politik sebagai syarat pertama dan utama ikut pemilihan presiden. Kalau tak mampu, pakai tangan orang lain. Akhirnya, jabatan presiden dianggap hanya sebatas petugas partai.

Katakan seadanya. Perjalanan Pancasila sejak dideklarasikan 1 Juni 1945. Liwat koridor Orde Lama. Tempaan era Orde Baru. Semakin nyata berkat olahan reformasi. Klimaksnya dengan daya pikat revolusi mental. Kemana saja Pancasila . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar