INDONESIA–ku 73 tahun, diam
seribu bahasa vs aksi seribu langkah
Bukan sindir getir akan kehidupan. Bukan gambaran
nyata sistem interaksi sosial antar kasta penduduk, strata masyarakat, status
warga negara. Bukan tingkat kepedulian pemimpin bangsa (baca: penguasa) dengan
rakyat.
Demam batu mulia, pernah melanda Nusantara. Pertanda
alam yang hanya disikapi secara ekonomis. Sampai yang terkini, pasca gerhana
bulan sabtu 28 Juli 2018, ilmu manusia masih bungkam. Alam berkata dengan
lembut, memang telinga manusia tak mampu mendengar. Tak mampu menyerap fenomena
alam.
Anomali politik sudah sampai menggoyahkan dasar
persatuan dan kesatuan. Pelaku, penggiat, penggila, pemain, petugas partai
sibuk dengan nasibnya. Tahun politik semakin meneguhkan bahwa politik bukan
untuk mengurus negara. Menguras harta dan kekayaan negara, iyalah.
Perguliran aroma irama politik sudah tidak bisa
membedakan mana tangan kanan, mana tangan kiri. Semua yang dianggap melakukan
kebodohan, harus dilibas. Tindas habis sebelum tunas. Lumat tuntas sebelum
mewabah dendam kesumat.
Media sosial menjadi ajang menistakan diri dengan
aneka ujaran tertulis. Bahasa yang dipakai, semakin liar merasa semakin cerdas
ideologi. mereka, pihak yang ahli mensitakan diri, dengan bangga dan sengaja
menjerumuskan diri, memblusukkan diri sebagai pecundang. Bukan monopoli yang
tak makan bangku sekolah. Didominasi penyandang gelar akademis. Berderet dan
lebih panjang daripada nama diri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar