triguna révolusi méntal : béla negara vs merugikan negara vs jual negara
Jangan membayangkan fakta bahwa kalau pelaku tindak pidana korupsi (tipikor)
didominasi oleh orang politik, maka tipikor masuk kategori kejahatan politik.
Minimal motif politik yang merangsang pelaku untuk korupsi.
Aroma irama pelaku, pemain, penggila, pegiat, pekerja partai untuk main
uang negara atau daerah, sudah ada kode etik, tata tertib, aturan main maupun
prosedur operasi standar.
Argo politik uang mulai efektif saat parpol masih berupa wacana, gagasan di
atas angin; di atas kertas; terdaftar sebagai badan hukum; tahap pengenalan,
promosi dan menarik simpati penduduk. Argo kuda mulai terasa untuk agar bisa
ikut pesta demokrasi, khususnya pemilu legislatif dan pilpres.
Kesenjangan nilai-nilai ideologis anak bangsa, baik karena daya juang dan
keringat sendiri maupun faktor warisan, bawaan lahir, nasib baik dari sono-nya, menjadikan dinamika politik
mempertajam konflik kepentingan. Semua mengerucutkan pada tujuan yang sama,
yaitu merebut kekuasaan secara konstitusional, legal, sah. Politik tidak ada
usangnya,
Kesetiakawanan politik tidak berlaku di sistem politik Nusantara. Bahkan di
internal tubuh parpol, sah-sah saja pakai ilmu katak. Teori antrian, sistem
rekrutmen, pola pengkaderan kalah pamor dengan garis tangan yang ditengarai
garis keturunan. Masuk jajaran elit parpol secara normal tergantung sabda
pandito ratu. Tergantung kebijakan berdasar hak prerogatif oknum ketua umum
parpol.
Di era 2014-2019 ada tata karma berpolitik yang santun, yaitu mempunyai
konekvitas dengan unsur asing. Khususnya jika bisa menjalin persahabatan,
perkawanan dengan negara yang paling bersahabat. Tidak perlu antri, tidak wajib
jadi ketua umum parpol.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar