pendidikan politik dan ketergantungan restu pusat
Semangat otonomi daerah, yang konon merupakan aspirasi
orisinal putera asli daerah untuk mandiri, berdaulat, berkemajuan; dan berorientasi,
fokus mewujudkan asas déséntralisasi serta mensejahterakan rakyat, penduduknya
dalam satu periode atau lima tahun. Nuansa dan nafsu politis tak lepas dari
semangat berotonomi daerah.
Tambah daerah administrasi, secara langsung membuka
peluang ada jabatan publik yang bisa diraih oleh kawanan partai politik, liwat
pilkada, pemilu. Daripada antri di tingkat nasional atau di tingkat daerah lama/induk,
yang belum jelas kapan terwujud cita-cita dan ambisi politiknya.
Sisi lain pembelahan daerah, bukan pemekaran daerah, agar
suku bangsa yang mendominasi dapat dikontrol oleh pusat. Runyamnya, daerah yang
kandungan sumber daya alam minimal atau tak prospectus, ditambah sumber daya
manusia malah menjadi beban, maka mau tak mau, daerah tersebut akan mati suri.
Yuridis formal, gubernur merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat, praktiknya tergantung parpol sang gubernur atau koalisi
parpol yang mendukungnya saat pilkada. Angin segar pilkada serentak,
memunculkan ketokohan yang cenderung digulirkan atas dasar pertimbangan taktis,
bukan mengandalkan pertimbangan ideologis.
Otonomi daerah tak serta merta, otomatis kehidupan
berideologi, berpartai politik diserahkan kepada kebutuhan, kepentingan,
kearifan lokal. Rasa nasionalisme partai politik, khususnya yang menjadi
perusahaan keluarga, mendaulat oknum ketua umum menyandang hak prerogatif dan
memposisikan petugas partai daerah tidak mempunyai otonomi, wewenang untuk menentukan
kader atau bukan kadernya (walau nilai jualnya tinggi), untuk mencalonkan diri
ikut pilkada. Harus ikut kebijakan pimpinan partai dan restunya. Sederhana. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar