Halaman

Jumat, 03 Maret 2017

pendidikan politik dan ketergantungan restu pusat



pendidikan politik dan ketergantungan restu pusat

Semangat otonomi daerah, yang konon merupakan aspirasi orisinal putera asli daerah untuk mandiri, berdaulat, berkemajuan; dan berorientasi, fokus mewujudkan asas déséntralisasi serta mensejahterakan rakyat, penduduknya dalam satu periode atau lima tahun. Nuansa dan nafsu politis tak lepas dari semangat berotonomi daerah.

Tambah daerah administrasi, secara langsung membuka peluang ada jabatan publik yang bisa diraih oleh kawanan partai politik, liwat pilkada, pemilu. Daripada antri di tingkat nasional atau di tingkat daerah lama/induk, yang belum jelas kapan terwujud cita-cita dan ambisi politiknya.

Sisi lain pembelahan daerah, bukan pemekaran daerah, agar suku bangsa yang mendominasi dapat dikontrol oleh pusat. Runyamnya, daerah yang kandungan sumber daya alam minimal atau tak prospectus, ditambah sumber daya manusia malah menjadi beban, maka mau tak mau, daerah tersebut akan mati suri.

Yuridis formal, gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, praktiknya tergantung parpol sang gubernur atau koalisi parpol yang mendukungnya saat pilkada. Angin segar pilkada serentak, memunculkan ketokohan yang cenderung digulirkan atas dasar pertimbangan taktis, bukan mengandalkan pertimbangan ideologis.

Otonomi daerah tak serta merta, otomatis kehidupan berideologi, berpartai politik diserahkan kepada kebutuhan, kepentingan, kearifan lokal. Rasa nasionalisme partai politik, khususnya yang menjadi perusahaan keluarga, mendaulat oknum ketua umum menyandang hak prerogatif dan memposisikan petugas partai daerah tidak mempunyai otonomi, wewenang untuk menentukan kader atau bukan kadernya (walau nilai jualnya tinggi), untuk mencalonkan diri ikut pilkada. Harus ikut kebijakan pimpinan partai dan restunya. Sederhana. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar