ikan busuk dari kepala
vs kecelakaan mulut pejabat
Aneh binti nyata, di éra mégatéga, mégakasus, seberapa sedikit pelaku, pegiat, pemain, pekerja, penggila politik, masuk kategori tiwas édan tenan tetep ora
keduman.
Beda dengan perilaku kawan
dari negara paling bersahabat, yang sudah beranak pinak sejak leluhurnya
mencari nafkah di Nusantara, dengan
ringan mulut memakai ujaran penistaan agama. Apalagi diceploskan semasa masih
sebagai gubernur ibukota NKRI. Niatnya sederhana, sebagai awal mempraktikkan
untuk memerahkirikan RI. Terlebih presiden ketujuh RI termasuk kamradnya. Ditambah
presiden kelima RI sebagai loyalis setianya.
Terbukti ada pidato
oknum presiden kelima RI, yang menunjukkan kadar otak kanan sekaligus otak kiri,
yang memang tidak pernah diasah untuk berpikir. Akhirnya, demi martabat diri meramu penodaan agama, pendustaan
ajaran agama. Tapi, menurut hemat penulis, bisa saja ada pihak tertentu yang
menuliskan pidatonya. Ybs tinggal baca, tak peduli benar atau baik. Atau memang
pesanan dari ybs, agar tampak sebagai pemikir.
Tepatnya, si pembaca
naskah pidato tidak bisa dikambinghitamkan. Kan politik sebagai agamanya,
sebagai pegangan hidupnya. Apalagi ybs mennyandang hak prerogatif. Apa yang
diucapkan adalah hukum, tidak bisa diganggu gugat oleh pengikutnya. Sah-sah
saja kentut lewat mulut. Toh yang menjadi bapaknya tidak pernah melarang. Bahkan
memujinya sebagai anak yang cerdas, sehingga ybs besar kepala, merasa pintar,
pandai. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar