Halaman

Senin, 27 Maret 2017

ikan busuk dari kepala vs kecelakaan mulut pejabat



ikan busuk dari kepala vs kecelakaan mulut pejabat

Aneh binti nyata, di éra mégatéga, mégakasus, seberapa sedikit pelaku, pegiat, pemain, pekerja, penggila politik, masuk kategori tiwas édan tenan tetep ora keduman.

Beda dengan perilaku kawan dari negara paling bersahabat, yang sudah beranak pinak sejak leluhurnya mencari nafkah di  Nusantara, dengan ringan mulut memakai ujaran penistaan agama. Apalagi diceploskan semasa masih sebagai gubernur ibukota NKRI. Niatnya sederhana, sebagai awal mempraktikkan untuk memerahkirikan RI. Terlebih presiden ketujuh RI termasuk kamradnya. Ditambah presiden kelima RI sebagai loyalis setianya.

Terbukti ada pidato oknum presiden kelima RI, yang menunjukkan kadar otak kanan sekaligus otak kiri, yang memang tidak pernah diasah untuk berpikir. Akhirnya, demi  martabat diri meramu penodaan agama, pendustaan ajaran agama. Tapi, menurut hemat penulis, bisa saja ada pihak tertentu yang menuliskan pidatonya. Ybs tinggal baca, tak peduli benar atau baik. Atau memang pesanan dari ybs, agar tampak sebagai pemikir.

Tepatnya, si pembaca naskah pidato tidak bisa dikambinghitamkan. Kan politik sebagai agamanya, sebagai pegangan hidupnya. Apalagi ybs mennyandang hak prerogatif. Apa yang diucapkan adalah hukum, tidak bisa diganggu gugat oleh pengikutnya. Sah-sah saja kentut lewat mulut. Toh yang menjadi bapaknya tidak pernah melarang. Bahkan memujinya sebagai anak yang cerdas, sehingga ybs besar kepala, merasa pintar, pandai. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar