Halaman

Minggu, 19 Maret 2017

dikotomi koalisi mukiyo, mati gaya vs mati angin



dikotomi koalisi mukiyo, mati gaya vs mati angin

Aneh-aneh saja kelakuan, perilaku dan kelakuan anak bangsa Nusantara. Teraneh tentunya hanya dimiliki dan menjadi hak milik penyelenggara negara. Pendekatan yang dipraktikkan pada tahapan dan/atau tingkatan kepentingan/kebutuhan politik memang tidak ada standar atau normanya. Seperti harga pangan yang tergantung kekuatan pasar.

Paling tidak bisa kita simak ala kadarnya pada pelaksanaan pilkada serentak, rabu 15 Februari 2017. Pasangan calon yang akan ikut dengan dukungan partai politik atau gabungannya, bukan calon independen, sebagai bukti apa itu makna koalisi. Koalisi yang buka praktik di tingkat pusat atau nasional, tidak otomatis berlaku di tingkat provinsi apalagi di tingkat kabupaten/kota.

Dinamika, gairah politik antar daerah juga tidak ada benang merahnya. Koalisi parpol daerah memang tergantung strategi yang diterapkan. Selain menunjukkan keluwesan praktik ideologi, secara tak langsung bahwa kepentingan, ambisi atau wacana lokal yang dominan.

Asas sentralistik, ketergantungan kepada kebijakan pengurus pusat, khususnya kepada restu oknum ketua umum yang mungkin menyandang hak prerogatif, jangan diasumsikan sebagai langkah mundur. Memang daya politiknya rentan dengan angin demokrasi kerakyatan. Takut kalau rakyat nantinya akan ngelunjak, ngranyak, ngrogoh rempelo.

Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang membangkitkan semangat untuk tetap utuh, bersatu. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik antar serigala politik di luar batas kewajaran, sudah dirasakan menjadi senjata makan tuan. Alam akan menyeleksi mana yang asli dan mana yang imitasi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar