dikotomi koalisi mukiyo, mati gaya vs mati angin
Aneh-aneh saja kelakuan,
perilaku dan kelakuan anak bangsa Nusantara. Teraneh tentunya hanya dimiliki
dan menjadi hak milik penyelenggara negara. Pendekatan yang dipraktikkan pada
tahapan dan/atau tingkatan kepentingan/kebutuhan politik memang tidak ada
standar atau normanya. Seperti harga pangan yang tergantung kekuatan pasar.
Paling tidak bisa kita
simak ala kadarnya pada pelaksanaan pilkada serentak, rabu 15 Februari 2017. Pasangan
calon yang akan ikut dengan dukungan partai politik atau gabungannya, bukan calon
independen, sebagai bukti apa itu makna koalisi. Koalisi yang buka praktik di
tingkat pusat atau nasional, tidak otomatis berlaku di tingkat provinsi apalagi
di tingkat kabupaten/kota.
Dinamika, gairah politik
antar daerah juga tidak ada benang merahnya. Koalisi parpol daerah memang
tergantung strategi yang diterapkan. Selain menunjukkan keluwesan praktik ideologi,
secara tak langsung bahwa kepentingan, ambisi atau wacana lokal yang dominan.
Asas sentralistik,
ketergantungan kepada kebijakan pengurus pusat, khususnya kepada restu oknum
ketua umum yang mungkin menyandang hak prerogatif, jangan diasumsikan sebagai
langkah mundur. Memang daya politiknya rentan dengan angin demokrasi
kerakyatan. Takut kalau rakyat nantinya akan ngelunjak, ngranyak, ngrogoh rempelo.
Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang
membangkitkan semangat untuk tetap utuh, bersatu. Konflik, gesekan, friksi
akibat syahwat politik antar serigala politik di luar batas kewajaran, sudah dirasakan
menjadi senjata makan tuan. Alam akan menyeleksi mana yang asli dan mana yang
imitasi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar