Efek Domino Persepsi Pemerintah Terhadap Rakyat, Temporary Highclass vs
Permanent Underclass
Kewajiban rakyat terhadap pemerintah adalah mendoakan,
bukannya umbar ujaran kebencian, membuat onar dengan penistaan agama, menantang
ayat-ayat langit, membuat tulisan di media tanpa proses hati nurani, pasang
badan sok jagoan atau merasa dirinya paling digdaya, apalagi niat melakukan
makar, kudeta, pemberontakan bersenjata. Kalau mau melakukan oposisi sah-sah
saja.
Di mana tanah kita pijak, di situ pemerintah tetap kita junjung. Kendati pemerintah belum
mampu memenuhi semua harapan dan kebutuhan rakyatnya. Walaupun pemerintah baru
bisa melayani dan mewujudkan aspirasi rakyat papan atas.
Bagaimana pemerintah menganggap dan menempatkan
eksistensi, jati diri, potensi rakyat sebagaimana dipraktikkan di pesta
demokrasi, mulai pilkada, pemilu legislatif sampai pilpres, sebagai bukti
nyata, otentik sikap penguasa. Rakyat dibutuhkan hanya saat untuk menggunakan
hak pilihnya pada Hari-H coblosan. Mahar politik, biaya politik atau kalkulasi
politik sebagai bentuk “pengorbanan” partai politik dan bandar politik, sekedar untuk mengerucutkan dan
memfokuskan pilhan rakyat.
Indonesia sebagai negara serba multi, termasuk
multiketimpangan, multikesenjangan, multi-tidak-kesetaraan yang tidak hanya di
bidang ekonomi. Masih ingatkah bahwa pelaku eknomi Nusantara, yang merupakan
bagian integral ekonomi mancanegara bahkan ekonomi dunia, mampu melakukan
komunikasi, koordinasi, kendali terhadap pelaku politik atau penguasa.
Kita tidak tahu perbandingan antara pengeluaran/belanja
segelintir orang super kaya Indonesia dengan pengeluaran/belanja mayoritas
rakyat papan bawah.
Kebijakan pemerintah yang memuliakan kartél, mengutamakan korporasi, menganakemaskan konglomerat
memang tak salah dan begitulah pasal timbal baliknya di hukum dagang. Karena dampak politik
transaksional di pesta demokrasi 2014. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar