Halaman

Sabtu, 18 Maret 2017

mbahé mégakorupsi KTP-èlèktronik, warisan dosa politik atau kutukan petaka politik



mbahé mégakorupsi KTP-èlèktronik, warisan dosa politik atau kutukan petaka politik

Namanya politik kawan, bisa lebih biadab daripada bengisnya ibukota negara. Pasal penistaan agama, penodaan agama oleh oknum gubernur ibukota negara dianggap hal wajar, lumrah sebagai dinamika politik merah kiri. NKRI siang dengan revolusi merah.

Agar lebih meriah, supaya lebih terlihat kadar ideologinya bukan karbitan, ketika ujar kebencian tidak mempan, pakai jurus menentang dan menantang ayat-ayat langit. Kali ini tidak perlu jurus pamer bego dan pengharu rasa.

Daripada menjadi “tikus mati muda di lumbung” lebih baik menjadi “pagar makan tanaman”.  Dua peribahasa ini menjadi lagu wajib tak tertulis peradaban berkemajuan aliran ideologi Nusantara.

Sekali korupsi, dua tiga generasi keturunan tercukupi. Korupsi jangan tanggung-tanggung kawan. Jangan pakai cara lama korupsi di bawah meja. Kalau perlu satu ruangan meja dikorupsi. Hukum di Indonesia sangat memuliakan napi koruptor. Mereka dianggap tamu istimewa di penjara. Mendapat perlakuan khusus. Penjara disulap menjadi hotel pribadi. Bersaing klas dengan tahanan bandar narkoba klas kakap merah.

Benang merah antar pemerintah di era reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, adalah biaya politik menjadikan semua upaya kembali modal, secara hukum politik menjadi sah, legal, konstitusional. Bahkan sebagai modal biaya politik untuk meraih nikmat dunia. Bak lingkaran setan.

Akhirnya rakyat semakin bingung. Siapa yang salah. Mananya yang salah. Kenapa salah. Salahnya ada berapa. Namanya kan lingkaran setan. Sesama setan dilarang saling mendahului dalam lingkaran. Kalau “menyanyi” bagaimana kawan? Semoga ramuan ajaib revolusi mental mampu menjaga kestabilan Jokowi-JK sampai jatuh tempo. Tapi juga jangan tinggalkan bom waktu politik. Karena asap merah sudah mulai menyengat mata dan pernafasan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar