mbahé mégakorupsi KTP-èlèktronik, warisan dosa
politik atau kutukan petaka politik
Namanya politik kawan,
bisa lebih biadab daripada bengisnya ibukota negara. Pasal penistaan agama,
penodaan agama oleh oknum gubernur ibukota negara dianggap hal wajar, lumrah
sebagai dinamika politik merah kiri. NKRI siang dengan revolusi merah.
Agar lebih meriah, supaya
lebih terlihat kadar ideologinya bukan karbitan, ketika ujar kebencian tidak
mempan, pakai jurus menentang dan menantang ayat-ayat langit. Kali ini tidak
perlu jurus pamer bego dan pengharu rasa.
Daripada menjadi “tikus
mati muda di lumbung” lebih baik menjadi “pagar makan tanaman”. Dua peribahasa ini menjadi lagu wajib tak
tertulis peradaban berkemajuan aliran ideologi Nusantara.
Sekali korupsi, dua tiga
generasi keturunan tercukupi. Korupsi jangan tanggung-tanggung kawan. Jangan
pakai cara lama korupsi di bawah meja. Kalau perlu satu ruangan meja dikorupsi.
Hukum di Indonesia sangat memuliakan napi koruptor. Mereka dianggap tamu
istimewa di penjara. Mendapat perlakuan khusus. Penjara disulap menjadi hotel
pribadi. Bersaing klas dengan tahanan bandar narkoba klas kakap merah.
Benang merah antar
pemerintah di era reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, adalah
biaya politik menjadikan semua upaya kembali modal, secara hukum politik
menjadi sah, legal, konstitusional. Bahkan sebagai modal biaya politik untuk
meraih nikmat dunia. Bak lingkaran setan.
Akhirnya rakyat semakin
bingung. Siapa yang salah. Mananya yang salah. Kenapa salah. Salahnya ada
berapa. Namanya kan lingkaran setan. Sesama setan dilarang saling mendahului
dalam lingkaran. Kalau “menyanyi” bagaimana kawan? Semoga ramuan ajaib revolusi
mental mampu menjaga kestabilan Jokowi-JK sampai jatuh tempo. Tapi juga jangan
tinggalkan bom waktu politik. Karena asap merah sudah mulai menyengat mata dan
pernafasan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar