ketika rakyat merasa asing dan
terasing di negeri sendiri
Fenomena yang disimak dengan kacamata,
bahasa, pendekatan politik, adalah pertumbuhan penduduk kelompok ekonomi menengah ke bawah
relatif tinggi. Lebih dirinci, maka terdapat 4 (empat) kelompok rumah tangga
yang diperkirakan berada pada 40% penduduk berpendapatan terbawah.
Pemilikan
pendidikan formal, keahlian, keterampilan penduduk miskin atau kelompok 40% ekonomi terbawah yang
rendah menyebabkan kurang kompetitif untuk mendapatkan lapangan kerja yang
layak.
Sinyal statistiK mengisyaratkan pada tahun 2008-2010
terdapat 6 (enam) juta Rumah Tangga Miskin (RTM). Dengan rincian :
Pertama. 4.5 juta RTM (75%)
tidak pernah keluar dari kemiskinan selama 3 tahun.
Kedua. 1.5 juta RTM (25%) tidak pernah membaik tingkat kemiskinan
Kambing hitam dari
rendahnya pertumbuhan pendapatan/penghasilan kelompok menengah ke bawah adalah
kurangnya akses terhadap pelayanan sosial dasar. Kesemuanya ini efek dari kesenjangan/ketimpangan
non-ekonomi berupa ketimpangan akses terhadap pelayanan sosial dasar yaitu
kesehatan, pendidikan, air bersih/minum dan sanitasi, dan pelayanan sosial
dasar lainnya.
Menarik
jika diungkap fakta historis kurangnya akses pelayanan
sosial dasar peningkatan SDM semasa kecil, ternyata berdampak pada daya saing kelompok menengah ke bawah.
Praktik dan
peningkatan pelayanan sosial dasar melalui Beasiswa Miskin, Rumah
Layak Huni atau bantuan stimulant perumahan swadaya, Sanitasi, PKH (program keluarga harapan), Infrastruktur dasar
lainnya.
Meskipun
ekonomi tumbuh, indikasi keberhasilan Jokowi-JK berkat kerja keras relawannya,
namun terdapat persepsi publik bahwa kesejahteraan baru sampai ke rakyat papan
atas, VIP, VVIP. Rangkaian gerbong terakhir, klas rakyat papan bawah baru
sebatas jadi penonoton. Kendati di atas kertas sudah muncul. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar