Halaman

Senin, 20 Maret 2017

Menetapkan Batas Awal Politik Uang



Menetapkan Batas Awal Politik Uang

Penulis secara pribadi tidak tahu persis, tepatnya apa latar belakang; maksud, tujuan, sasaran, serta maupun hasil yang diharapkan dari politik uang. Tidak hanya itu, semacam binatang apakah itu “politik uang”. Apa hanya ada di kamus politik.

Diakui hidup-hidup kalau politik uang menjadi bagian integral dari demokrasi ala reformasi yang bergulir mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Wujud demokrasi ala reformasi ditengarai antara lain sebagai demokrasi perwakilan vs demokrasi tanpa perantara.

Berita di media massa berikut turunannya, mengkhabarkan kalau praktik politik uang marak saat pesta demokrasi. Bahkan di pilkades pun sudah akrab dalam mempraktikkannya. Kendati bakal calon kades tidak diusung oleh partai politik sebagai syarat pencalonan (?). Desa pun, dengan UU 6/2014 tentang DESA, menjadikan desa berdaya tarik tinggi.

Ada dua pihak pelaku politik uang. Pertama, adalah pihak yang menebarkan, membagikan, mendistribusikan, memasok uang dan bentuk lain. Kedua, adalah pihak penerima, bisa perorangan sampai tergantung wujudnya. Artinya, bentuk politik uang tidak melulu kasih uang sebagai tanda atau ikatan. Daripada pusing, tidak layak dilanjutkan.

Tumbuhnya partai politik pasca Orde Baru, bak jamur dan laron di musim hujan, ternyata menimbulkan pertanyaan awam. Slogan asing no free lunch, masih kurang pas. Karena ada adat ajak masyarakat makan siang, tidak bisa dikategorikan.

Tepatnya, pihak yang mendirikan partai politik, tentu bukan masuk kategori penduduk miskin. Orang kaya yang masuk sepuluh besar Nusantara pun, atau di bawahnya, juga tak bisa bermain sendiri. Butuh dukungan “investasi” pengusaha. Semakin bingung bin linglung.

Artinya, perlu kebijakan pemerintah untuk menetapkan awal politik uang. Jangan sampai bahasa politik mendominasi bahasa hukum. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar