Menetapkan Batas Awal Politik Uang
Penulis secara pribadi
tidak tahu persis, tepatnya apa latar belakang; maksud, tujuan, sasaran, serta
maupun hasil yang diharapkan dari politik uang. Tidak hanya itu, semacam
binatang apakah itu “politik uang”. Apa hanya ada di kamus politik.
Diakui hidup-hidup kalau
politik uang menjadi bagian integral dari demokrasi ala reformasi yang bergulir
mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Wujud demokrasi ala reformasi ditengarai
antara lain sebagai demokrasi perwakilan vs demokrasi tanpa perantara.
Berita di media massa
berikut turunannya, mengkhabarkan kalau praktik politik uang marak saat pesta
demokrasi. Bahkan di pilkades pun sudah akrab dalam mempraktikkannya. Kendati bakal
calon kades tidak diusung oleh partai politik sebagai syarat pencalonan (?). Desa
pun, dengan UU 6/2014 tentang DESA, menjadikan desa berdaya tarik tinggi.
Ada dua pihak pelaku
politik uang. Pertama, adalah pihak yang menebarkan, membagikan,
mendistribusikan, memasok uang dan bentuk lain. Kedua, adalah pihak penerima, bisa
perorangan sampai tergantung wujudnya. Artinya, bentuk politik uang tidak
melulu kasih uang sebagai tanda atau ikatan. Daripada pusing, tidak layak dilanjutkan.
Tumbuhnya partai politik
pasca Orde Baru, bak jamur dan laron di musim hujan, ternyata menimbulkan pertanyaan
awam. Slogan asing no free lunch,
masih kurang pas. Karena ada adat ajak masyarakat makan siang, tidak bisa
dikategorikan.
Tepatnya, pihak yang
mendirikan partai politik, tentu bukan masuk kategori penduduk miskin. Orang kaya
yang masuk sepuluh besar Nusantara pun, atau di bawahnya, juga tak bisa bermain
sendiri. Butuh dukungan “investasi” pengusaha. Semakin bingung bin linglung.
Artinya, perlu kebijakan
pemerintah untuk menetapkan awal politik uang. Jangan sampai bahasa politik
mendominasi bahasa hukum. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar