Halaman

Jumat, 31 Maret 2017

aksi damai 313 dan lelang mulut pejabat



aksi damai 313 dan lelang mulut pejabat

Gerakan umat Islam, jumat 31 Maret 2017, masih terkait dengan rangkaian dampak dan akibat penistaan agama, penodaan agama oleh oknum gubernur DKI Jakarta, yang sering disbut dengan nama Ahok.

Saya jadi ingat, lelucon politik klas gardu ronda. Konon, ketika diadakan lelang otak berskala dunia, otak bangsa Indonesia sanggup meraup harga dan prestasi penawaran tertinggi. Bahkan jauh di luar perkiraan panitia lelang.

Kemenangan tersebut diraih berkat kategori "JARANG DIPAKAI", sebagai kategori wajib yang harus diikuti. Berdasarkan pengalaman tadi, maka ketika diadakan lelang mulut antar benua, Indonesia sangat berharap sebagai pemenang.

Tanpa melalui seleksi nasional, maka diutuslah sebuah mulut dengan kategori/spesifikasi "SERING DIPAKAI" khususnya untuk urusan politik dalam negeri, sebagai duta dan wakil bangsa mengikuti acara bergengsi tersebut.

 Setelah mengalami proses lelang yang rumit, bertele-tele dan adu argumentasi yang sangat melelahkan, akhirnya Indonesia menempati posisi juru kunci. Bahkan tak ada yang mengajukan penawaran, dijadikan souvenirpun bangsa termiskinpun enggan menerimanya.

Untuk menghargai partisipasi aktif Indonesia akhirnya panitia mengambil kebijakan dengan mengawetkan "mulut" tersebut sebagai bahan pajangan di museum. Minimal kita bisa berharap suatu saat akan jadi bahan kloning makhluk hidup pasca kiamat.

"Diam adalah emas" atau sejenis Gerakan Tutup Mulut yang dipraktikkan oleh Presiden kelima RI, di babak akhir era Reformasi, justru membuat pesaingnya kebakaran jenggot kehabisan kata. Banyak bicaralah yang selama ini mewarnai era Reformasi. Hasilnya adalah polusi udara. Sulit dibedakan untuk menentukan mana yang benar antara bicaranya tukang jual obat dengan buka mulutnya pejabat. Maklum di zaman Orde Baru sudah ada perintis Bung Harmoko utawa “hari demi hari omong kosong”, sebagai juru penjelas atas petunjuk bapak presiden.

Terbukti ada pidato oknum Presiden kelima RI, pada HUT ke-44 PDIP dirayakan kader banteng di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2017), yang menunjukkan kadar otak kanan sekaligus otak kiri, yang memang tidak pernah diasah untuk berpikir. Akhirnya, demi  martabat diri meramu, meracik penodaan agama, pendustaan ajaran agama. Tapi, menurut hemat penulis, bisa saja ada pihak tertentu yang menuliskan pidatonya, fokus pada ujaran sentimen negatifnya. Ybs tinggal baca, tak peduli benar atau baik. Atau memang pesanan dari ybs, agar tampak sebagai pemikir. Atau memang politik menjadi agamanya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar