ora opo-opo, rugi setitik nanging
bathi kadang akèh
Ungkapan yang dipakai judul di atas, merupakan sifat jiwa
pedagang wong Jawa. Berlaku di mbok bakul yang jual makanan lesehan di pagi
hari saja. Atau pemilik warung berdidinding gedeg atau anyaman bambu. Sampai sekarang
ternyata masih ada pedagang sayur lesehan di perko (emper toko), sebelum toko
buka. Mereka kulak di pasar tradisional terdekat.
Pembelinya ibu rumga sekitarnya yang datang tanpa
bersolek. Berbegas belanja untuk sarapan anak suami. Mengikuti kebutuhan dan
selera makan, ada yang khusus buka pagi jual lauk atau nasi bungkus. Orang berangkat
kerja mampir untuk bekal sarapan di kantor. Lokasi jualan gantian dengan yang
punya atau untuk fungsi lainnya.
Para penjual, penjaja makanan, nasi dengan aneka lauk,
tidak sekedar kejar untung finansial. Asal kembali modal ditambah bisa untuk
beli bahan baku dan sedikit ditabung, sudah bersyukur. Ini namanya usaha
ekonomi klas rakyat papan bawah. Mereka mengutamakan
rasa pasaduluran.
Memang, walau
fakta sesuai judul pernah saya temui saat masih kecil. Lepas dari paribasan
Jawa : “tuna sathak bathi
sanak” maksudnya “rugi bandha, nanging bathi pasaduluran”.
Presiden
ketujuh RI, Joko Widodo, sebagai wong Sala tentu sudah faham dengan judul atau
paribasan tadi. Hebatnya lagi, beliau tahu betul bahwa semua tadi tak berlaku
di dunia politik dengan berbagai aliran ideologi. Yang terjadi malah
kebalikannya.
Bahkan mengorbankan
rakyat tak jadi masalah, asal cita-cita, ambisi, angan-angan politknya
terwujud, tercapai. Kejadiannya malah jadi acara, adegan, atraksi yang mampu
mendongkrak peringkat media massa layar kaca berbayar. Antar periode pemerintah
selalu berulang dengan modus operandi yang lebih lihai, cerdik, licin, licik, canggih.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar