Halaman

Jumat, 10 Maret 2017

ora opo-opo, rugi setitik nanging bathi kadang akèh



ora opo-opo, rugi setitik nanging bathi kadang akèh

Ungkapan yang dipakai judul di atas, merupakan sifat jiwa pedagang wong Jawa. Berlaku di mbok bakul yang jual makanan lesehan di pagi hari saja. Atau pemilik warung berdidinding gedeg atau anyaman bambu. Sampai sekarang ternyata masih ada pedagang sayur lesehan di perko (emper toko), sebelum toko buka. Mereka kulak di pasar tradisional terdekat.

Pembelinya ibu rumga sekitarnya yang datang tanpa bersolek. Berbegas belanja untuk sarapan anak suami. Mengikuti kebutuhan dan selera makan, ada yang khusus buka pagi jual lauk atau nasi bungkus. Orang berangkat kerja mampir untuk bekal sarapan di kantor. Lokasi jualan gantian dengan yang punya atau untuk fungsi lainnya.

Para penjual, penjaja makanan, nasi dengan aneka lauk, tidak sekedar kejar untung finansial. Asal kembali modal ditambah bisa untuk beli bahan baku dan sedikit ditabung, sudah bersyukur. Ini namanya usaha ekonomi klas rakyat papan bawah.  Mereka mengutamakan rasa pasaduluran.

Memang, walau fakta sesuai judul pernah saya temui saat masih kecil. Lepas dari paribasan Jawa : “tuna sathak bathi sanak” maksudnya  rugi bandha, nanging bathi pasaduluran”.

Presiden ketujuh RI, Joko Widodo, sebagai wong Sala tentu sudah faham dengan judul atau paribasan tadi. Hebatnya lagi, beliau tahu betul bahwa semua tadi tak berlaku di dunia politik dengan berbagai aliran ideologi. Yang terjadi malah kebalikannya.

Bahkan mengorbankan rakyat tak jadi masalah, asal cita-cita, ambisi, angan-angan politknya terwujud, tercapai. Kejadiannya malah jadi acara, adegan, atraksi yang mampu mendongkrak peringkat media massa layar kaca berbayar. Antar periode pemerintah selalu berulang dengan modus operandi yang lebih lihai, cerdik, licin, licik, canggih. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar