Halaman

Senin, 06 Maret 2017

Indonesia Negara Multitimpang/Multisenjang



Indonesia Negara Multitimpang/Multisenjang

Indonesia dalam mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, lewat pembangunan jangka menengah atau lima tahunan, memakai istilah atau batasan “kelompok masyarakat yang kurang beruntung”. Apakah batasan ini sebagai kesimpulan dari berbagai fakta lapangan yang jika dipakai apa adanya menimbulkan kesan negatif di mata dunia. Sehingga perlu mengalami proses penghalusan bahasa atau eufimisme.

Justru frasa tadi bisa menimbulkan multitafsir jika ditarik mundur, hitung mundur untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi. Namun, ternyata masih ada lagi penerapan frasa “yang kurang beruntung” yaitu  anak kurang beruntung” dan “daerah yang kurang beruntung”.

Secara formal memang ada dan diakuinya fakta ketimpangan, kesenjangan, ketidaksetaraan, ketidakmerataan hasil pembangunan nasional yang dirasakan oleh daerah, masyarakat maupun anak. Tentunya bukan karena salah kebijakan, salah sasaran atau salah proses memadukan perencanaan dengan pengaggaran.

Pemerintah memang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk, baik secara perorangan maupun kelompok, komunitas bahkan daerah.  Menyoal “daerah yang kurang beruntung” bukan berarti otonomi daerah atau semangat daerah untuk menambah provinsi maupun kabupaten/kota baru, dengan dalih agar lebih mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, tidak berhasil.

Jujur saja, konflik yang terjadi atau faktor potensial penyebab konflik atau berbagai tingkat kerawanan akibat berbagai ketimpangan, kesenjangan yang terjadi. Ketimpangan/kesenjangan ekonomi mendominasi penyebab. Dilengkapi dengan ketimpangan/kesenjangan sosial, hukum, politik, dsb.

Pemerintah tidak salah jika memposisikan rakyat kebanyakan sebagai permanent underclass. Karena populasi dan sebaran penduduk, akhirnya pemerintah seolah fokus, mengutamakan sampel penduduk yang masuk kategori temporary highclass.

Kebijakan pemerintah yang  memuliakan kartél, mengutamakan korporasi, menganakemaskan konglomerat memang tak salah dan begitulah pasal timbal baliknya. Karena dampak politik, efek domino politik transaksional, politik jual beli suara sampai politik balas jasa, balas budi bersamaan dengan politik balas dendam di pesta demokrasi 2014. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar