Halaman

Rabu, 08 Maret 2017

penistaan agama sebagai klimaks ujaran kebencian penyelenggara negara



penistaan agama sebagai klimaks ujaran kebencian penyelenggara negara

Kata siapa oknum penyelenggara negara tidak terlanda rasa fobia. Ibarat pohon, semakin tinggi menjulang ke angkasa, semakin kuat dan banyak angin menerpa. Di pucuk, di puncak pohon, sedikit goyangan, guncangan imbasnya terasa sekali dibanding yang di tanah.

Kamus bahasa menjelaskan lema fobia. Antara lain perasaan takut terhadap  sesuatu tanpa sebab tertentu. Ironisnya, bahkan takut dengan bayangannya sendiri. Saking takutnya, tetapi tidak ada yang sampai terkencing-kencing di celana. Kalau yang terberak-berak di celana, mungkin ada. Jangankan orang sipil, manusia militer pun akan berhal sama.

Landasan agamanya kurang kuat, mudah maju mundur soal urusan dunia, kedudukan tidak mengakar atau bak jenggot mengakar ke atas, ke orang, maka rasa fobia bisa berlapis. Muncul rasa curiga, was-was menjurus ke sikap antipati, alérgi kepada pihak “lawan politik”. Aneka fobi tumbuh subur di hati kecilnya.

Klimaksnya maka terjadilah njegrig wuluné marga wedi. Merasa ada tekanan dari segala arah, menimbulkan ketakutan yang luar biasa. Di luar kapasitas diri yang hakiki. Merasa hutang budi kepada pemberi jabatan. Takut mengecewakan atau tak bisa, tidak mampu membawa diri, khususnya memenuhi kewajiban sebagai “orang dalam”. Menyebabkan tenaga dalamnya muncul tanpa direncanakan. Tenaganya menjadi berlipat. Tak perlu minum obat kuat pabrikan atau racikan dukun.  Keberaniannya seolah berganda, jauh melebihi keberanian geng motor, bonek, relawan, oknum yang siap pasang badan. Mirip anak bangsa mabuk miras oplosan diramu dengan hajatan  musik ndangdhut.

Tak kurang keberaniannya untuk buka mulut, buka suara. Apa yang sedang mendekam di benak, otaknya langsung dikeluarkan. Tanpa proses apapun. Masuk sampah, keluar sinergi sampah berdasarkan karakter si mulut.

Walhasil, hasilnya, banyak oknum penlenggara negara, merasa bebas tanpa batas untuk mengeluarkan pendapat dan meraup pendapatan sebesar-besarnya, orang bebas bicara, bebas berujar, bebas berorasi. Bukan hanya tanpa pikir panjang, seolah tanpa diolah oleh otak dan nurani, karena juga hati dan telinganya tuli. Coba tanya ke ahli THT. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar