penistaan agama
sebagai klimaks ujaran kebencian penyelenggara negara
Kata siapa oknum penyelenggara negara tidak
terlanda rasa fobia. Ibarat pohon, semakin tinggi menjulang ke angkasa, semakin
kuat dan banyak angin menerpa. Di pucuk, di puncak pohon, sedikit goyangan,
guncangan imbasnya terasa sekali dibanding yang di tanah.
Kamus bahasa menjelaskan lema fobia. Antara lain perasaan takut terhadap
sesuatu tanpa sebab tertentu. Ironisnya, bahkan takut
dengan bayangannya sendiri. Saking takutnya, tetapi tidak ada yang sampai
terkencing-kencing di celana. Kalau yang terberak-berak di celana, mungkin ada.
Jangankan orang sipil, manusia militer pun akan berhal sama.
Landasan agamanya kurang kuat, mudah maju mundur soal urusan dunia,
kedudukan tidak mengakar atau bak jenggot mengakar ke atas, ke orang, maka rasa
fobia bisa berlapis. Muncul rasa curiga, was-was menjurus ke sikap antipati,
alérgi kepada pihak “lawan politik”. Aneka fobi tumbuh subur di hati kecilnya.
Klimaksnya maka terjadilah njegrig wuluné marga wedi. Merasa ada tekanan dari segala arah, menimbulkan
ketakutan yang luar biasa. Di luar kapasitas diri yang hakiki. Merasa hutang
budi kepada pemberi jabatan. Takut mengecewakan atau tak bisa, tidak mampu
membawa diri, khususnya memenuhi kewajiban sebagai “orang dalam”. Menyebabkan
tenaga dalamnya muncul tanpa direncanakan. Tenaganya menjadi berlipat. Tak perlu
minum obat kuat pabrikan atau racikan dukun.
Keberaniannya seolah berganda, jauh melebihi keberanian geng motor,
bonek, relawan, oknum yang siap pasang badan. Mirip anak bangsa mabuk miras
oplosan diramu dengan hajatan musik ndangdhut.
Tak kurang keberaniannya untuk buka
mulut, buka suara. Apa yang sedang mendekam di benak, otaknya langsung
dikeluarkan. Tanpa proses apapun. Masuk sampah, keluar sinergi sampah
berdasarkan karakter si mulut.
Walhasil, hasilnya, banyak oknum penlenggara negara, merasa bebas tanpa
batas untuk mengeluarkan pendapat dan meraup pendapatan sebesar-besarnya, orang
bebas bicara, bebas berujar, bebas berorasi. Bukan hanya tanpa pikir panjang,
seolah tanpa diolah oleh otak dan nurani, karena juga hati dan telinganya tuli.
Coba tanya ke ahli THT. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar