Karena Kasus Pedofilia Tidak Masuk
Ranah Politik
Pendekatan keamanan dalam menangani
kasus pedofilia, malah membuat dan
menghasilkan analisa yang beraneka ragam. Ibarat pesepak bola yang
mengulur-ulur waktu tanpa niat, minat menambah goal karena sudah menang. Pola kerja
yang dipakai aparat keamanan karena berskala nasional, seperti menunggu hari
baik.
Pihak lain, dengan adanya dapil
(daerah pemilihan) untuk pemilu yang merupakan gabungan beberapa kabupaten/kota
di satu provinsi, jika terjadi kasus di dapilnya, tidak otomatis wakil rakyat
dari dapil tsb, ikut buka suara, ikut andil dan campur tangan. Berbagai kasus
yang menyangkut hajat penduduk miskin, masyarakat papan bawah, oknum wakil
rakyat tampak adem-ayem, duduk manis, berpangku tangan, goyang kaki. Jika
kepentingan pengusaha terusik, spontan wakil rakyat merapatkan barisan. Bela
yang membayar.
Mengingat korban kasus pedofilia
adalah mayoritas anak-anak, dengan batasan usia tertentu. Predikat anak-anak
yang terlantar sudah didukung lewat UUD NRI 1945. Ikhwal “perlindungan anak” khusus
ditangani satu menteri di kabinet kerja Jokowi-JK. Apakah hanya karena
eksploitasi berita menjadikan banyak pihak ikut bersuara. Ada yang mengail di
air keruh. Bahkan kinerja pemerintah yang masih jauh dari janji kampanye,
menjadi terselubung. Pemerintah lewat RPJMN 2015-2019, sudah mengenalkan istilah baku “anak kurang beruntung” terkait aspek pendidikan anak usia dini. Kurang
bagaimana lagi peduli pemrintah terhadap anak, bahkan sejak dalam kandungan.
Demokrasi kita seolah hanya berlaku untuk orang dewasa, yang sudah
mempunyai hak pilih. Wajar kalau anak-anak dilarang ikut kampanye, ikut
orangtuanya berunjuk raga, unjuk rasa tuntut penyetaraan upah buruh/pekerja.
Sehingga anak-anak bukan sebagai komoditas politik yang layak diperjuangkan.
Hanya membuang, menguras percuma waktu dan energi para wakil rakyat yang
terhormat, dimanapun mereka bermarkas. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar