Halaman

Kamis, 30 Maret 2017

dua sisi mata uang, korupsi vs kejahatan politik



dua sisi mata uang, korupsi vs kejahatan politik

Jangan membayangkan fenomena taji hukum politik, tuah bahasa politik. Salah sebut, asal ungkap, keliru ujar, sembrono main kutip, urusannya bisa dibawa sampai liang kubur. Ganti penguasa, bisa imbas ke anak cucu. Masuk pasal merongrong wibawa negara, minimal pasal hina presiden. Dianggap telah melakukan perbuatan yang layak diduga tidak menyenangkan penguasa.

Kemungkinan besar kalau pelaku tindak pidana korupsi (tipikor)  bahkan mégakorupsi KTP-eleltronik didominasi oleh orang politik, maka apakah otomatis tipikor masuk kategori kejahatan politik. Minimal motif politik yang merangsang pelaku untuk korupsi. Agar tampak pemerataan, pihak swasta ikut andil dan disebut termasuk sebagai pelakunya.

Apakah faktor penentu perilaku korupsi berbanding lurus dengan sistem politik yang sedang marak, atau dengan sistem demokrasi yang dinamis dan kondisional. Semisal, politik transaksional, di pesta demokrasi 2014, pemilu legislatif dan pilpres, yang melahirkan koalisi, kongsi, kolaborasi semu, konspirasi, koneksi, kongkalikong, komplotan, kawanan, dan berbagai bentuk persekutuan. Atau tergantung pada sistem pemerintahan presidensial atau/maupun pada sistem pemerintahan parlementer. Praktik demokrasi pasca bergulirnya reformasi yang dimulai 21 Mei 1998 yang mengandalkan dan mengutamakan negara multipartai.

Kita tengok ada apa gerangan dibalik fakta, fenomona gebyar 2014-2019. Konon, pengaruh dan campur tangan korporasi negara paling bersahabat dengan Indonesia sudah berkibar secara resmi, konstitusional. NKRI pada posisi sebagai fasilitator atas tuntutan dunia yang mengalir deras. Posisi formal sebatas sebagai “tukang stempel” atau “pemadam kebakaran” apabila terjadi konflik potensial. Indonesia yang serba multi di satu sisi yang juga menjadi beban tersendiri, sekaligus wajib “melayani” sinyal politik dan ekonomi dari luar.

Dosa politik warisan zaman penjajahan atau era kolonial, berlanjut ke zaman Orde Lama dengan pola Nasakom. Tak mau kalah lihai, penguasa tunggal Orde Baru menyederhanakan bentuk dan jumlah parpol. Berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) semakin menyuburkan instabilitas politik dalam negeri.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar