dua sisi mata uang,
korupsi vs kejahatan politik
Jangan membayangkan fenomena taji hukum politik, tuah bahasa politik. Salah
sebut, asal ungkap, keliru ujar, sembrono main kutip, urusannya bisa dibawa
sampai liang kubur. Ganti penguasa, bisa imbas ke anak cucu. Masuk pasal
merongrong wibawa negara, minimal pasal hina presiden. Dianggap telah melakukan
perbuatan yang layak diduga tidak menyenangkan penguasa.
Kemungkinan besar kalau pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) – bahkan mégakorupsi
KTP-eleltronik – didominasi oleh orang politik, maka apakah otomatis tipikor masuk kategori
kejahatan politik. Minimal motif politik yang merangsang pelaku untuk korupsi. Agar
tampak pemerataan, pihak swasta ikut andil dan disebut termasuk sebagai
pelakunya.
Apakah faktor penentu perilaku korupsi berbanding lurus dengan sistem
politik yang sedang marak, atau dengan sistem demokrasi yang dinamis dan kondisional.
Semisal, politik transaksional, di pesta demokrasi 2014, pemilu legislatif dan
pilpres, yang melahirkan koalisi, kongsi, kolaborasi semu, konspirasi, koneksi,
kongkalikong, komplotan, kawanan, dan berbagai bentuk persekutuan. Atau
tergantung pada sistem pemerintahan presidensial atau/maupun pada sistem
pemerintahan parlementer. Praktik demokrasi pasca bergulirnya reformasi yang
dimulai 21 Mei 1998 yang mengandalkan dan mengutamakan negara multipartai.
Kita tengok ada apa gerangan dibalik fakta, fenomona gebyar 2014-2019. Konon,
pengaruh dan campur tangan korporasi negara paling bersahabat dengan Indonesia
sudah berkibar secara resmi, konstitusional. NKRI pada posisi sebagai
fasilitator atas tuntutan dunia yang mengalir deras. Posisi formal sebatas
sebagai “tukang stempel” atau “pemadam kebakaran” apabila terjadi
konflik potensial. Indonesia yang serba multi di satu sisi yang juga menjadi beban
tersendiri, sekaligus wajib “melayani” sinyal politik dan ekonomi dari luar.
Dosa politik warisan
zaman penjajahan atau era kolonial, berlanjut ke zaman Orde Lama dengan pola
Nasakom. Tak mau kalah lihai, penguasa tunggal Orde Baru menyederhanakan bentuk
dan jumlah parpol. Berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) semakin menyuburkan
instabilitas politik dalam negeri.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar