gonjang-ganjing politik : njarag, ngranyak, ngelunjak
Apapun menu politik yang tersaji di
panggung politik, sebegitu komplit, bahkan tersedia menu khusus berupa esuk dhelé sore témpé. Peminat atau pihak tertentu bisa pesan dadakan, asal
kuat dana atau modal kuasa ngacak-ngacak pakem yang sudah mapan.
Menu tradisional tetap dipertahankan. Kalau dibilang mirip sesajen, tidak
banyak salah duganya. Pancasila sebagai ideologi NKRI. Kedudukan pancasila yang
awal pencetusanya sebagai dasar negara, akibat efek domino negara multipartai
akhirnya menjadi salah satu pilar dari 4 (papat) pilar berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. 4 pilar menjadi pekerjaan utama MPR agar martabatnya tetap
terjaga.
Pendidikan politik Nusantara hanya sekitar pasal bahwa berpolitik dengan
benar dan baik adalah sekedar merebut, mempertahankan, merebut kembali
kekuasaan secara konstitusional. Pengalaman penguasa tunggal Orde Baru, yang
menjadikan Golongan Karya sebagai kendaraan politiknya, sehingga mampu bertahan
melalui 6 (enam) pemilu menginspirasi, mengilhami pendiri partai politik. Sekarang,
di periode 2014-2019, perkara memperjuangkan nasib rakyat, itu pasal terakhir.
Bergulirnya semangat dan jiwa reformasi yang diawali, dimulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998, bukan seperti bola gelinding atau bola salju yang
meluncur bebas. Begitulan, akhirnya semua pemain, pelaku, pegiat, pekerja partai
bebas bermain, dengan gaya bebas, seolah tanpa aturan yang jelas. Wasit asal
semprit, asal tiup peluit sesuai asas wani
piro.
Rakyat hanya menjadi pemirsa yang setia, bijak dan tak banyak komentar
apalagi menuntut. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar