Halaman

Rabu, 08 Maret 2017

NKRI bak bunga desa di sarang serigala politik



NKRI bak bunga desa di sarang serigala politik

Jangan lupa kawan sebangsa dan setanah air, tidak ada diskriminasi gender di panggung, industri, syahwat politik dalam negeri. Ada singa betina tua kegenit-genitan, harimau ompong sempoyongan masih tampak belangnya, serigala bercambang bauk umbar wajah pilu, babi klimis berbau amis umbar ujar umpat sinis, buaya  bergincu dengan modal kekuatan moncong. Pokoknya, seperti yang kita saksikan di media massa, khususnya media televisi berbayar.

Laju pertumbuhan cita rasa ideologi anak bangsa Indonesia naik drastis, nyaris tak terbendung, pasca Reformasi 21 Mei 1998 yang mulai dari puncaknya. Bergulir manis bak kembang desa lepas dari pingitan. Lepas dari mulut buaya, siap=siap masuk ratusan mukut serigala. Sang Reformis, yang awalnya dipandang sebagai penyelamat bangsa dari dominasi pengasa tunggal Orde Baru berikut kendaraan politiknya, tanpa komando banyak yang menampakkan watak aselinya.

Hasilnya, politikus atau politisi sipil yang hidup zaman pak Harto, yang masih gentayangan, bukannya memikirkan masa depan bangsa dan negara. Mereka lebih mengutamakan kepentingan partai yang notabene mensejahterakan dirinya secara konstitusional. Periode sebuah parpol yang tak sama dengan periode Jokowi-JK, sudah ancang-ancang mau apa di pesta demokrasi 2019. Disinilah terlihat watak asli serigala politik Nusantara. Menggalang kekuatan, merangkai koalisi semu, merangkul lawan politik sebagai jembatan ke 2019. Tidak bisa disalahkan. Itulah politik. Segala watak manusia versi wayang sudah terpakai semua, bahkan kurang, melebihi stock yang ada. Melirik watak binatang, fauna. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar