NKRI bak
bunga desa di sarang serigala politik
Jangan lupa kawan sebangsa dan setanah
air, tidak ada diskriminasi gender di panggung, industri, syahwat politik dalam
negeri. Ada singa betina tua kegenit-genitan, harimau ompong sempoyongan masih
tampak belangnya, serigala bercambang bauk umbar wajah pilu, babi klimis berbau
amis umbar ujar umpat sinis, buaya
bergincu dengan modal kekuatan moncong. Pokoknya, seperti yang kita
saksikan di media massa, khususnya media televisi berbayar.
Laju pertumbuhan cita rasa ideologi anak bangsa Indonesia naik drastis,
nyaris tak terbendung, pasca Reformasi 21 Mei 1998 yang mulai dari puncaknya. Bergulir
manis bak kembang desa lepas dari pingitan. Lepas dari mulut buaya, siap=siap
masuk ratusan mukut serigala. Sang Reformis, yang awalnya dipandang sebagai
penyelamat bangsa dari dominasi pengasa tunggal Orde Baru berikut kendaraan
politiknya, tanpa komando banyak yang menampakkan watak aselinya.
Hasilnya, politikus atau politisi sipil yang hidup zaman pak Harto, yang
masih gentayangan, bukannya memikirkan masa depan bangsa dan negara. Mereka
lebih mengutamakan kepentingan partai yang notabene mensejahterakan dirinya
secara konstitusional. Periode sebuah parpol yang tak sama dengan periode
Jokowi-JK, sudah ancang-ancang mau apa di pesta demokrasi 2019. Disinilah
terlihat watak asli serigala politik Nusantara. Menggalang kekuatan, merangkai
koalisi semu, merangkul lawan politik sebagai jembatan ke 2019. Tidak bisa
disalahkan. Itulah politik. Segala watak manusia versi wayang sudah terpakai
semua, bahkan kurang, melebihi stock yang ada. Melirik watak binatang, fauna. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar