nalika Indonesia kegedhèn empyak kurang cagak
Jujur saja, paribasan
Jawa bukan suka-suka yang menyusun, yang merekayasa, mereka-reka, menuturkan turun-temurun.
Justru sebagai kesimpulan dari berbagai kasus, aneka ragam kejadian di tatanan
kehidupan bermasyarakat.
Namanya orangtua saat menimang anaknya, sambil dinyayikan
sekaligus doa yang sederhana : “sok yèn wis gedhé dadiyo
presiden yo nduk/lé”. Nyaris semua
orangtua akan melakukan hal yang sama, hanya beda substansi, redaksi lagu uro-uro dan doa.
Bangsa, masyarakat, komunitas Indonesia yang serba
majemuk, aneka multi, terjadilah pembauran, campur aduk antara yang namanya
cita-cita dengan angan-angan. Antara ambisi dengan realitas potensi diri.
Adalah “kegedhèn
kakerepan nanging kurang sembada” maksud judul di atas. Terjemahan ke
dalam bahasa Indonesia, tergantung di penafsir atau pihak yang merasa
tersindir. Semua kejadian perkara yang pernah, sedang dan akan berlangsung berdasarkan
fakta kehidupan berbangsa dan bernegara. Mirip peribahasa “syahwat politik garang,
potensi kurang”.
Frasa “4 pilar
berbangsa dan bernegara” yang terjadi dari Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan
Bhinneka Tunggal Ika bisa diartikan ‘cagak’
dalam arti yang sebenarnya, misal tiang, kolom.
Akankah, apakah
makna ‘empyak’ atau atap dalam arti
sesungguhnya di dunia nyata sebagai ibarat pemimpin bangsa. Sekali lagi,
begitulah cerita tamsilnya.
Apa yang
diharapkan atau yang akan disajikan di olah kata ini. Sederhana namun bernas
dan sarat makna.
Katakan saja, zaman
édan, di era mégatéga, mégakasus, tiwas édan tenan tetep ora keduman. Opo tumon mbok dé.
Indonesia sarat dengan ambisi politik sebagai efek domino
negara multipartai.
Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang membangkitkan
semangat untuk tetap utuh. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik di
luar batas kewajaran, sudah menjadi senjata makan tuan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar