Halaman

Jumat, 10 Maret 2017

nalika Indonesia kegedhèn empyak kurang cagak



nalika Indonesia kegedhèn empyak kurang cagak

Jujur saja, paribasan Jawa bukan suka-suka yang menyusun, yang merekayasa, mereka-reka, menuturkan turun-temurun. Justru sebagai kesimpulan dari berbagai kasus, aneka ragam kejadian di tatanan kehidupan bermasyarakat.

Namanya orangtua saat menimang anaknya, sambil dinyayikan sekaligus doa yang sederhana : “sok yèn wis gedhé dadiyo presiden yo nduk/lé”. Nyaris semua orangtua akan melakukan hal yang sama, hanya beda substansi, redaksi lagu uro-uro dan doa.

Bangsa, masyarakat, komunitas Indonesia yang serba majemuk, aneka multi, terjadilah pembauran, campur aduk antara yang namanya cita-cita dengan angan-angan. Antara ambisi dengan realitas potensi diri.

Adalah “kegedhèn kakerepan nanging kurang sembada” maksud judul di atas. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, tergantung di penafsir atau pihak yang merasa tersindir. Semua kejadian perkara yang pernah, sedang dan akan berlangsung berdasarkan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara. Mirip peribahasa “syahwat politik garang, potensi kurang”.

Frasa “4 pilar berbangsa dan bernegara” yang terjadi dari Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bisa diartikan ‘cagak’ dalam arti yang sebenarnya, misal tiang, kolom.

Akankah, apakah makna ‘empyak’ atau atap dalam arti sesungguhnya di dunia nyata sebagai ibarat pemimpin bangsa. Sekali lagi, begitulah cerita tamsilnya.

Apa yang diharapkan atau yang akan disajikan di olah kata ini. Sederhana namun bernas dan sarat makna.

Katakan saja, zaman édan, di era mégatéga, mégakasus, tiwas édan tenan tetep ora keduman. Opo tumon mbok dé.

Indonesia sarat dengan ambisi politik sebagai efek domino negara multipartai. 

Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang membangkitkan semangat untuk tetap utuh. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik di luar batas kewajaran, sudah menjadi senjata makan tuan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar