Halaman

Senin, 13 Maret 2017

Freeport cuci gudang, Indonesia cuci piring



Freeport cuci gudang, Indonesia cuci piring

Menarik untuk disimak Laporan Tahunan 2012 PT Freeport Indonesia (PTFI), khususnya karena VISI PTFI adalah Pada saat penutupan tambang, PTFI telah memenuhi seluruh komitmen sosialnya, sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang telah disepakati secara resmi, dengan cara mewariskan program-program berkelanjutan pada masyarakat sasarannya yang mampu berkembang dengan berhasil, tangguh serta tidak tergantung lagi kepada bantuan PTFI (baik secara finansial maupun natura).

Disebutkan pula, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah beroperasi di Papua selama lebih dari 40 tahun. Di dalam kurun waktu yang tidak sebentar tersebut kita dapat melihat berbagai perubahan serta upaya-upaya pembangunan berkelanjutan dalam berbagai bidang. Salah satu bidang yang sangat pentingng artinya bagi perusahaan adalah pengembangan masyarakat dan hubungan masyarakat.

Keluhan tentang hak ulayat merupakan salah satu resiko yang diprioritaskan oleh PTFI. PTFI beroperasi di wilayah yang menjadi hak ulayat (hak tradisional atas tanah) masyarakat Amungme dan Kamoro. PTFI memberikan pengakuan atas hak ulayat melalui berbagai program pengembangan masyarakat dan melalui bentuk-bentuk rekognisi lainnya. Meskipun PTFI telah memberikan pengakuan tersebut, tuntutan mengenai hak ulayat tersebut masih sering diterima PTFI dari masyarakat. Pada tahun 2012, PTFI menerima tuntutan hak ulayat atas wilayah Batu Bersih, Basecamp Bechtel, dan Timika Pantai. Dalam beberapa kasus, beberapa kelompok yang berbeda sering kali mengajukan tuntutan atas wilayah yang sama sehingga meningkatkan potensi konfl ik antar suku dan kelompok dalam suku yang sama.

PTFI mematuhi hukum di Indonesia terkait hak ulayat. Salah satu keterbatasan yang dihadapi oleh PTFI dalam menanggapi tuntutan hak ulayat adalah belum tersedianya peraturan tentang batas-batas wilayah ulayat. Di lain pihak, PTFI selaku kontraktor pemerintah dalam bidang pertambangan tidak memiliki wewenang dalam penentuan hak ulayat. Dialog antar suku yang difasilitasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pemerintah Kabupaten Mimika, dan PTFI menghasilkan kesepakatan bahwa permasalahan hak ulayat ini akan diselesaikan secara internal antar suku terlebih dahulu. Di saat yang sama, PTFI bersama dengan Pemerintah Kabupaten Mimika, Badan PertanahanNasional, tokoh-tokoh masyarakat, dan pihak ketiga yang independen sedang melakukan kerjasama dalam pemetaan wilayah hak ulayat sehingga tersedia acuan yang jelas dalam penentuan batas-batas hak ulayat. Tersedianya batas-batas ulayat yang jelas diharapkan dapat mempermudah penyelesaian tuntutan hak ulayat, menghindari konfl ik antar kelompok masyarakat, dan mengurangi resiko sosial bagi PTFI. PTFI juga telah melakukan rekognisi melalui program infrastruktur dan pengembangan masyarakat untuk kampung-kampung Amungme dan Kamoro yang sebagian lahannya digunakan untuk menunjang operasi PTFI.

Tampaknya tidak ada yang salah dengan tampilan kata dan kalimat di 4 (empat) alenia cuplikan di atas. Namun mengacu pada VISI, tampak betapa PTFI dengan daya jangkau penginderaan prospek perusahaan bak peribahasa “habis manis sepah dibuang”.

Penutupan tambang tampak bukan momok bagi PTFI. Bahkan merasa bersih diri dengan ungkapan telah memenuhi seluruh komitmen sosial. Sebagai perusahaan yang melayani kebutuhan dunia, tentu selama 45 tahun lebih mengeduk, mengeruk, menguras pertambangan tembaga dan emas seluas 292.000 hektar di dataran tinggi kabupaten Mimika, provinsi Papua, NKRI, bukan tanpa hasil nyata. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar