reformasi 2014-2019 sarat dengan bumbu revolusi mental
jika kubeli dada ayam goreng,
saat kulihat ada onggokan rontokan bumbu tepung, di saringan atau di etalase,
kuminta secukupnya. Karena pernah kulihat yang minta remukan tsb adalah
peminta-minta. Ada juga mbok-mbok yang beli, si mbok yang melayani pembelian otomatis
menuangkannya ke bungkus kertas sebagai bonus.
Memang jujur saja,
remukan tepung goreng ayam, disertai atau ditambahi bumbu dapur, enak jadi
lauk. Bahkan lebih menggoyangkan lidah daripada santap ayamnya.
Lain cerita ketika
isteriku pulang malam dari kantor, acap bawa lauk yang sengaja disisihkan untukku.
Atau ada acara, sehingga bisa bawa nasi dan lauknya. Salah satu lauk yang dbawa
pulang adalah pepes ikan. Cukup untuk teman nasi satu piring. Terutama dilahap
di malam hari untuk pengisi perut. Agar tidur perut tidak main musik keroncong.
Ikan tidak hanya
dibaluri, dilumuri bumbu, tetapi diisi, disisipi bumbu. Bahkan bagia kepala
juga dijejali bumbu. Selai bumbu tumbuk, ada yang masih utuh. Jadi kalau mau
makan, harus mau repot. Mulai buka bungkus dai daun pisang, sortir bumbu. Karena
ada juga bumbunya yang cocok dengan lidah manula. Bumbu untuk baha jamu juga.
Bergulirnya reformasi
yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, sampai kemelut dan gonjang-ganjing kondisi
terkini di periode 2014-2019, hadirnya katalisator revolusi
mental menjadikan sajian menu politik yang aneka ragam, serba
cita rasa, banyak variasi citra lagak.
Akhirnya jati diri
perjuangan bangsa malah tebal dengan
polesan dan gincu revolusi mental. Ikannya sudah kehilangan rasa, campur baur
aneka rasa. Apadahal dengan bumbu dapur ala rakyat, lezat ikan tak berkurang. Aroma
ikan masih terasa di hidung, apalagi lidah. Bumbu revolusi mental selain sudah
kadaluwarsa juga overdosis mbokdé/paklik. Rakyat cuma bisa
lihat pada hasilnya, bukan pada prosesnya yang tampak nasionalis, heroik,
patriotik, pancasilais komplit. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar