rasa
solidaritas, adaptasi, demokrasi ala ikan got
Bukan
kesalahan teknis jika got depan rumah, dirancang oleh pengembang saat itu,
airnya mengalir dari barat ke timur. Masalahnya, aliran tersebut malah
membelakangi posisi got primer yang terhubung langsung ke sungai. Aliran air got
antar blok bertemu di satu titik. Terjadilah genangan. Tidak hanya itu, terjadi
adu banyak air limbah rumah tangga.
Secara alami,
tempat paling rendah menjadi pertemuan aliran air dari beberapa got. Bahkan got
yang posisinya paling rendah, air seperti malas mengalir. Adem ayem, diam di
tempat. Genangan plus tempat sampah yang hanyut.
Persoalan
dan cerita belum selesai. Wajar ada sarang nyamuk. Ikan got, atau ikan cetol,
dengan warna dominan hitam. Karena hidup di lumpur got yang hitam. Di sela-sela
got, bisa dipancing ikan belut. Orang naik motor, dengan saringan jala mencari
ikan got. Cari ikan untuk makan ikan peliharaan. Yang cari belut, untuk
tambahan lauk.
Kehidupan
ikan got, yang seolah tergantung aliran, arus maupun genangan air, mirip dengan
perilaku manusia dalam berbangsa dan bernegara. Ada yang bergerak bebas, acuh
dengan lingkungan. Ada yang menggerombol hilir mudik.
Jangan lupa
ikhwal kepedulian penghuni rumah terhadap nasob got depan rumahnya. Ambil cara
paling praktis, got di tutup dengan blok beton bertulang. Ada yang cor di
tempat, dengan dalih agar parkir mobil bisa mepet pagar rumah. Tidak memakan
badan jalan. Membiarkan got menjadi taman tanaman liar.
Jika ada
gangguan di permukaan got, misal sedang dibersihkan pakai sapu lidi atau sekop,
otomatis ikan menyelamatkan diri masing-masing. Terjadi arus balik, ikan got
lebih suka berenang melawan arus.
Komunitas
ikan got, sangat bervariasi. Ada yang gemar imigrasi, mencari lahan basah. Komandannya
tak tentu. Terkadang yang paling gesit berada di depan. Atau mereka bergerak
serempak tanpa komando dan aba-aba. Ada juga satu dinasti ikan got yang
mengikuti induknya. Sang induk besar akibat kandungan telur. Berenang lambat,
melenggak-lenggok bak puteri Solo kepanasan, mengikuti kata hati, mengikuti
ambisi ideologinya. Mbokde ikan ini banyak loyalisnya. Terutama ikan-ikan kecil
yang sedang mencari jati diri.
Tampak menonjol
di antara kawanan ikan got, karena ekornya warna-warni. Atau tubuhnya ada warna
selain hitam. Bukan hijau atau coklat. Jamak kalau beda ini menjadi nilai jual.
Membentuk strata, kasta tersendiri. Dari udara, kehidupan ikan got asik
dipandang.
Ceritanya
jadi lain. Menyapu got dengan sekop. Bisa mengikuti aliran normal atau arus
saat banjir. Karena di rumah saya ada jogangan, keluar air tanahnya. Saya isi
dengan ikan got. Dengan sekop saya ambil ikan saat berenang melawan arus. Ikan hasil
tangkapan, saya tampung sementara di ember.
Ada asyiknya
mengamati gerakan politik ikan got di ember. Yang punya keahlian, sibuk
berputar berenang mengelilingi ember tanpa hitungan. Merasa nyaman dikedalaman
tertentu, menunggu waktu untuk bertindak. Menjaga posisi bersama di tengah
permukaan, merasa sebagai pusat pemerintahan. Tak kurang yang tabrak berenang sesama
ikan ember.
Ironisnya,
mbokde ikan got, ikan got yang berbadan kekar, yang ahli berujar kebencian ke
lawan politik, yang mahir menista agama, yang pakar menentang dan menantang
langit, atau yang sering menumpang lewat, jual tampang di media televisi,
seperti mati angina. Mati kutu. Tampak aselinya. Seolah filosofi
kebinatangannya sirna. Terjadi pembiaran kekacauan di ember. Tunggu tanggal
mainnya untuk tampil sebagai pemenang.
Kondisi
sudah kondusif. Ikan seember saya tuang ke jogangan. Bukan sebagai TKI. Bukan sebagai
pendatang haram. Usai semua ikan masuk jogangan. Terjadilah interaksi sosial. Ternyata
. . . . . . . (bersambung) [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar