revolusi mental sebagai
babak akhir rayap-rayap reformasi
Bersyukur atas nikmat
kejadian reformasi yang gemilang di 21 Mei 1998. Maksud, tujuan, sasaran utama
reformasi adalah agar presiden ke-2 RI, Jenderal Besar Suharto, mundur, turun
dari jabatannya. Itu saja kawan.
Ironisnya, kawanan
reformis tidak siap menerima estafet kepemimpinan nasional dengan tatanan yang
serba elok, molek. Mereka malah adu kuat dengan segala cara yang menghalalkan
segala cara. Merasa paling berhak dan layak jadi presiden. Merasa paling bisa
dan patut jadi kepala negara.
Singkat sejarah, selain
bersyukur, bangsa dan rakyat NKRI siap menerima bencana politik versi
reformasi.
Reformasi total yang bergulir dari puncaknya, mempunyai latar belakang subur dan maraknya
perilaku kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Diakui dan dirasakan, efek
domino KKN adalah pemiskinan negara dan
masyarakat dalam skala luas.
Konteks reformasi politik 1998 juga mengandung perubahan pada tatanan
sosial, ekonomi, sistem hankam secara lebih merata.
Reformasi sistem kepartaian menjadi bumerang, senjata makan tuan, menjebak
diri sendiri. Betapa tidak, parpol semakin kehilangan jati dirinya, khususnya
yang hanya uber kekuasaan secara konstitusional. Parpol dan Golkar peninggalan
zaman Orde Baru, bak bebas dari pingitan. Kembali ke komponen masing-masing
sebelum fusi atau terpaksa lebur menjadi satu.
KKN versi Orba tetap berlanjut dan seolah menjadi lagu wajib bagi partai
politik yang sedang naik daun, yang sedang sibuk urus negara. Tak heran jika ada berita “56 Vonis
Bebas Dikeluarkan Pengadilan Tipikor Selama 2016” (lihat Republika, Ahad, 5
Maret 2017).
Penjabaran ramuan khusus, istimewa, berklas berlabel revolusi mental yang
siap pakai dan dilaksanakan, dipraktikkan K/L/DI telah memperkuat adanya fakta
Indonesia menjadi multitimpang, multisenjang. Muncul “kelompok masyarakat yang kurang beruntung”, “anak kurang beruntung” dan “daerah yang kurang beruntung”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar