memanipulasi diri dengan
menggandakan berita sampah
Wajar
jika orang tua melarang anak balitanya atau bahkan masih batita, bermain pisau
dapur. Takut kalau melukai diri sang anak atau membahayakan orang lain. Tak jarang
orang tua memberi mainan alat perang-perangan kepada buah hatinya, yang
laki-laki. Seperangkat mainan boneka, alat masak-masakan kepada batita
perempuannya.
Zaman sekarang,
anak batita sudah mahir memainkan alat perangkat informasi dan komunikasi. Entah
apa namanya, maklum penulis karena usia masuk gaptek. Fasilitas games atau permainan menjadi tujuan
utama anak yang masih buta calistung (baca, tulis, hitung). Anak tampak manis,
tidak rewel, asyik dengan dunianya.
Potensi
anak terpacu oleh kemanfaatan gadget.
Karena sudah akrab sejak dini. Bahkan sejak dalam kandungan. Daya nalar,
kandungan logika, kadar otak menjadi terkontaminasi mana alat sungguhan
(seperti pisau dapur yang aneka bentuk, multifungsi, warna-warni, bahkan satu
set) dengan alat perang-perangan. Analog dengan anak perempuan.
Singkat
sejarah, pada kondisi tertentu, tidak peduli dengan lembar ijazah di
kantongnya, mereka mengalami kesulitan mencerna mana berita palsu, berita
bohong sampai ujaran kebencian dibakut penistaan, ujaran membodohi rakyat
sampai berita resmi tetapi membohongi publik.
Ironisnya
pelaku utama yang disebut diatas, dimonopoli oleh oknum penyelenggara negara. Rakyat
yang melek teknologi, yang sejak dini sudah tidak bisa membedakan
mana yang sesungguhnya dengan mana yang tiruan, imitasi, sebagai alat
permainan, dibuktikan dengan gemar berselancar di media sosial atau pokoknya
yang serba media, mencampuradukkan kejadian sesungguhnya dengan angan-angan,
fantasi, ambisi dan sebutan lainnya.
Di panggung,
industri, syahwat politik, banyak pelaku, pegiat, pekerja partai yang gemar
pamer bego. Mereka dengan bangga mengatakan apa yang tidak diketahuinya, yang
tidak dikerjakannya. Cuma asal bunyi, tidak masalah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar