dikotomi mukiyo révolusi méntal, béla negara vs jual negara
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melaksanakan agresi II untuk merebut
ibukota Indonesia di Yogyakarta. Belanda menangkap Presiden, Wakil Presiden
yaitu Sukarno-Hatta. Sebelum penangkapan Sukarno-Hatta sempat mengadakan rapat
untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Sebagai Presiden pemerintah
darurat ditunjuk Syarifudin Prawira Negara. Peristiwa tersebut yang selanjutnya
diperingati sebagai hari Bela negara.
Peristiwa bersejarah tersebut, menunjukkan kepada rakyat Indonesia, bahwa
membela negara dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara, tidak
hanya diwujudkan dengan mengangkat senjata atau kekuatan militer (hard power) semata, akan tetapi juga
dapat diwujudkan melalui bidang lain yaitu dengan kekuatan non militer (soft power) seperti perjuangan
politik dan diplomasi sebagaimana yang terjadi pada 19 Desember 1948. Peringatan
Hari Bela Negara ini bukanlah hanya untuk rakyat Sumatera Barat saja, akan
tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. (Majalah WIRA, Media
Informasi Kementerian Pertahanan, Edisi Khusus Bela Negara 2016)
Mengingat status ‘edisi khusus’, wajar kalau artikel
atau beritanya jika ditarik benang merahnya, seputar Bela Negara. Fragmentalnya
malah seperi “ada udang di balik batu”. Tersurat bahkan tersirat dengan Bela
Negara malah mengungkap fakta lain, yang masuk ranah, pasal atau nuansa Jual
Negara. Tentu sedikit banyak menyerempet wacana kasus Merugikan Negara.
Rangkaian kata, kalimat berikut memang tidak
runut, serba acak dan nyaris sporadis. Bahan bakunya saya ambil dari WIRA,
sedikit sentuhan seni nurani.
“Bukankah para pendahulu sudah berikrar: Satu Tanah Air,
Tanah Air Indonesia? Siapa pun, kelompok mana pun, kekuatan politik mana pun, tidak
boleh bermimpi untuk menciptakan “Indonesia yang lain”, Indonesia yang bukan
Tanah Air Indonesia.”
Pihak mana yang sedang bermain api? Jelas terasa
sampai sekarang modus operandinya, bahkan secara konstitusional terselubung. Praktiknya
dimulai dari ibukota NKRI. Dalih mendukung Tol Laut, terjadilah reklamasi
pantai utara Jakarta. Indonesia dibawah komunikasi, koordinasi, kendali negara
paling bersahabat. Pengalaman sebagai negara sponsor kudeta dua kalai PKI, 1948
dan 1965, menjurus kepada rayuan merah-kiri. Banyak anak bangsa mudah
tersanjung, senang dan bangga kalau dipuja-puji.
Selain itu sistem politik parlementer yang menghasilkan
seringnya pergantian pemerintahan dan instabilitas politik. Dinamika politik
lokal semakin menyuburkan banyaknya permasalahan sosial (KKN, Narkoba,
Terorisme, Kemiskinan, Pencurian Sumber Kekayaan Alam).
Ancaman yang bersifat multi-dimensional, èfèk domino dari negara
multipartai, acap bersumber, berasal dari permasalahan ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya atau permasalahan pertahanan dan keamanan.
Latar belakang konflik antara lain berasal
dari konflik politik dengan berbagai kepentingan yang seolah tak pro-rakyat. Kesenjangan
sosial, pertentangan etnis, agama atau perebutan sumber kekayaan nasional dan masalah
lokal lainnya nyaris menjadi agenda dan menu harian bangsa.
Tujuan Bela Negara tidak lain untuk
meningkatkan ketahanan bangsa yang mencakup ketahanan ideologi, politik,
ekonomi (termasuk ketahanan pangan), sosial, budaya dan militer. Semua lini
ketahanan bangsa Indonesia saat ini, sejujurnya, makin merosot hingga pada
tingkat yang sungguh mengkhawatirkan.
20 tahun terakhir bangsa kita dicekoki
habis-habisan oleh nilai-nilai destruktif yang sebagian berasal dari budaya
luar. Kurang puas dengan budaya asing, kalau bisa memboyong orang asing masuk
ke wilayah Nusantara. Ironis binti miris, jika tidak ada yang berani melakukan gerakan
nasional merevitalisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda, Indonesia hampir dipastikan
akan semakin terpuruk. Bukannya Pemerintah melakukan pembiaran atau memang ada
konspirasi, scenario yang sudah tercium gelagatnya.
Masalah internal bangsa yakni kemiskinan,
kesenjangan sosial-ekonomi, kerentanan hubungan antar etnik dan agama,
primordialisme kedaerahan, resistensi dan konflik, kemelut partai-partai
politik, separatisme, hingga radikalisme. Semuanya ekses dari ketimpangan,
kesenjangan, ketidakmerataan hasil pembangunan, artinya pada penikmat dan
penerima manfaatnya.
Memang berhala reformasi 3K (kaya, kuat,
kuasa) menjadi inti dan jiwa politik, dan penduduk yang permanent underclass dan uneducated
people tidak pernah memiliki akses atau hak untuk bertanya, mengetahui
mengenai kebijakan para pemimpin daerah dan bangsa, maka jalan ke penyalahgunaan
semakin menjadi tradisi partai.
Ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan
industri, ketahanan kebudayaan, ketahanan intelektual, atau singkatnya
ketahanan ipoleksosbud (ideologi, politik, sosial dan budaya) adalah urusan
kita semua.
NKRI adalah Negara Kepuluauan, sehingga sistem
pertahanan dan keamanan tak bisa lepas dari sistem politik totaliter. Yang namanya
alat keamanan negara naik peringkat menjadi alat penguasa. Sistem karir kalau
tidak ada jaminan politik, tidak berlaku. Prestasi hanya dilihat sebagai
kewajiban sesuai tugas, fungsi dan wewenangnya.
Pancagatra yang terdiri dari lima
gatra dinamis, yaitu: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan. Bukan tiba-tiba muncul.
Mendorong K/L terkait dalam perbaikan regulasi,
perbaikan dan penataan sistem sosial, budaya, politik, hukum, dan ekonomi sebagai
salah satu dorongan yang kuat bagi terjadinya perubahan mental di tataran masyarakat
Indonesia yang pada hakikatnya mendasari proses nation and
character building.
Kebijakan publik adalah strategi dari
Pemerintah utuk mengarahkan kehidupan bangsa untuk mencapai cita-cita bersama,
di mana cita-cita jangka panjang atau selamanya ada pada konstitusi dan
cita-cita jangka terbatas ada pada visi Presiden atau Kepala Pemerintahan.
Strategi dimaksud mencakup strategi
politik-ideologi, ekonomi-bisnis, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan.
Sejatinya masih banyak yang ingin diungkap. Kalau
overdosis, bikin muak, mual, mules, muntah, mumet, muntap pembaca. Sekian. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar