Halaman

Selasa, 28 Maret 2017

dikotomi mukiyo révolusi méntal, béla negara vs jual negara



dikotomi mukiyo révolusi méntal, béla negara vs jual negara

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melaksanakan agresi II untuk merebut ibukota Indonesia di Yogyakarta. Belanda menangkap Presiden, Wakil Presiden yaitu Sukarno-Hatta. Sebelum penangkapan Sukarno-Hatta sempat mengadakan rapat untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Sebagai Presiden pemerintah darurat ditunjuk Syarifudin Prawira Negara. Peristiwa tersebut yang selanjutnya diperingati sebagai hari Bela negara.

Peristiwa bersejarah tersebut, menunjukkan kepada rakyat Indonesia, bahwa membela negara dalam rangka menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara, tidak hanya diwujudkan dengan mengangkat senjata atau kekuatan militer (hard power) semata, akan tetapi juga dapat diwujudkan melalui bidang lain yaitu dengan kekuatan non militer (soft power) seperti perjuangan politik dan diplomasi sebagaimana yang terjadi pada 19 Desember 1948. Peringatan Hari Bela Negara ini bukanlah hanya untuk rakyat Sumatera Barat saja, akan tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. (Majalah WIRA, Media Informasi Kementerian Pertahanan, Edisi Khusus Bela Negara 2016)

Mengingat status ‘edisi khusus’, wajar kalau artikel atau beritanya jika ditarik benang merahnya, seputar Bela Negara. Fragmentalnya malah seperi “ada udang di balik batu”. Tersurat bahkan tersirat dengan Bela Negara malah mengungkap fakta lain, yang masuk ranah, pasal atau nuansa Jual Negara. Tentu sedikit banyak menyerempet wacana kasus Merugikan Negara.

Rangkaian kata, kalimat berikut memang tidak runut, serba acak dan nyaris sporadis. Bahan bakunya saya ambil dari WIRA, sedikit sentuhan seni nurani.

“Bukankah para pendahulu sudah berikrar: Satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia? Siapa pun, kelompok mana pun, kekuatan politik mana pun, tidak boleh bermimpi untuk menciptakan “Indonesia yang lain”, Indonesia yang bukan Tanah Air Indonesia.”

Pihak mana yang sedang bermain api? Jelas terasa sampai sekarang modus operandinya, bahkan secara konstitusional terselubung. Praktiknya dimulai dari ibukota NKRI. Dalih mendukung Tol Laut, terjadilah reklamasi pantai utara Jakarta. Indonesia dibawah komunikasi, koordinasi, kendali negara paling bersahabat. Pengalaman sebagai negara sponsor kudeta dua kalai PKI, 1948 dan 1965, menjurus kepada rayuan merah-kiri. Banyak anak bangsa mudah tersanjung, senang dan bangga kalau dipuja-puji.

Selain itu sistem politik parlementer yang menghasilkan seringnya pergantian pemerintahan dan instabilitas politik. Dinamika politik lokal semakin menyuburkan banyaknya permasalahan sosial (KKN, Narkoba, Terorisme, Kemiskinan, Pencurian Sumber Kekayaan Alam).

Ancaman yang bersifat multi-dimensional, èfèk domino dari negara multipartai, acap bersumber, berasal dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya atau permasalahan pertahanan dan keamanan.

Latar belakang konflik antara lain berasal dari konflik politik dengan berbagai kepentingan yang seolah tak pro-rakyat. Kesenjangan sosial, pertentangan etnis, agama atau perebutan sumber kekayaan nasional dan masalah lokal lainnya nyaris menjadi agenda dan menu harian bangsa.

Tujuan Bela Negara tidak lain untuk meningkatkan ketahanan bangsa yang mencakup ketahanan ideologi, politik, ekonomi (termasuk ketahanan pangan), sosial, budaya dan militer. Semua lini ketahanan bangsa Indonesia saat ini, sejujurnya, makin merosot hingga pada tingkat yang sungguh mengkhawatirkan.

20 tahun terakhir bangsa kita dicekoki habis-habisan oleh nilai-nilai destruktif yang sebagian berasal dari budaya luar. Kurang puas dengan budaya asing, kalau bisa memboyong orang asing masuk ke wilayah Nusantara. Ironis binti miris, jika tidak ada yang berani melakukan gerakan nasional merevitalisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda, Indonesia hampir dipastikan akan semakin terpuruk. Bukannya Pemerintah melakukan pembiaran atau memang ada konspirasi, scenario yang sudah tercium gelagatnya.

Masalah internal bangsa yakni kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, kerentanan hubungan antar etnik dan agama, primordialisme kedaerahan, resistensi dan konflik, kemelut partai-partai politik, separatisme, hingga radikalisme. Semuanya ekses dari ketimpangan, kesenjangan, ketidakmerataan hasil pembangunan, artinya pada penikmat dan penerima manfaatnya.

Memang berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa) menjadi inti dan jiwa politik, dan penduduk yang permanent underclass dan uneducated people tidak pernah memiliki akses atau hak untuk bertanya, mengetahui mengenai kebijakan para pemimpin daerah dan bangsa, maka jalan ke penyalahgunaan semakin menjadi tradisi partai.

Ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan industri, ketahanan kebudayaan, ketahanan intelektual, atau singkatnya ketahanan ipoleksosbud (ideologi, politik, sosial dan budaya) adalah urusan kita semua.

NKRI adalah Negara Kepuluauan, sehingga sistem pertahanan dan keamanan tak bisa lepas dari sistem politik totaliter. Yang namanya alat keamanan negara naik peringkat menjadi alat penguasa. Sistem karir kalau tidak ada jaminan politik, tidak berlaku. Prestasi hanya dilihat sebagai kewajiban sesuai tugas, fungsi dan wewenangnya.

Pancagatra yang terdiri dari lima gatra dinamis, yaitu: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Bukan tiba-tiba muncul.

Mendorong K/L terkait dalam perbaikan regulasi, perbaikan dan penataan sistem sosial, budaya, politik, hukum, dan ekonomi sebagai salah satu dorongan yang kuat bagi terjadinya perubahan mental di tataran masyarakat Indonesia yang pada hakikatnya mendasari proses nation and character building.

Kebijakan publik adalah strategi dari Pemerintah utuk mengarahkan kehidupan bangsa untuk mencapai cita-cita bersama, di mana cita-cita jangka panjang atau selamanya ada pada konstitusi dan cita-cita jangka terbatas ada pada visi Presiden atau Kepala Pemerintahan.

Strategi dimaksud mencakup strategi politik-ideologi, ekonomi-bisnis, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan.

Sejatinya masih banyak yang ingin diungkap. Kalau overdosis, bikin muak, mual, mules, muntah, mumet, muntap pembaca. Sekian. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar