Halaman

Kamis, 16 Maret 2017

RTM Pilih Merokok Karena Malu Hidup Sehat



RTM Pilih Merokok Karena Malu Hidup Sehat

Fakta eksistensi perokok di Indonesia dalam berbagai kasus dan aspek, sudah masuk peringkat skala dunia.  Minimal dalam batas skala ASEAN. Tentu bukan berita yang menggembirakan apalagi membanggakan. Campur tangan pemerintah hanya sebatas himbauan. Pilihan ada di tangan rakyat.

Perokok sejati lebih memilih menunda sarapan, mengundurkan jam makan pagi daripada menunda hisap asap rokok. Tidak sekedar ahli hisap, sudah masuk kategori ahli bakar uang. Gaya, gaul, gengsi, percaya diri didapat, menu penyakit tinggal pilih.

Angka berbicara, perokok aktif didominasi warga miskin atau mereka dari kalangan Rumah Tangga Miskin (RTM), bukannya tanpa sebab. Ada asap ada api, bukan sekedar peribahasa.

Kalau anak dan remaja menjadi sasaran utama dan mangsa empuk kampanye industri rokok, wajar. Sebab mereka memiliki karakteristik yang serba ingin tahu dan ingin coba, sedang mencari identitas diri dan jati diri, serta niat kuat untuk independen, memimpikan popularitas, serba bebas serta atribut, predikat lainnya.

RTM tidak hanya dipahami dari kacamata ekonomi, yaitu ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kekurangmampuan untuk memenuhi hak dasar secara mandiri atau lewat pelayanan pemerintah. Pemenuhan hak dasar ini meliputi hak untuk mendapatkan identitas/legalitas, pelayanan kesehatan, kecukupan gizi, akses terhadap pendidikan, rumah tinggal yang layak, penerangan yang cukup, fasilitas sanitasi, dan akses terhadap air minum.

Kenyataan di lapangan, RTM lebih mudah mengakses ketersediaan dan keterjangkauan harga eceran tertinggi sebatang rokok daripada mengakses info pola hidup berdasarkan terpenuhinya hak dasar sebagai warga negara. Kemiskinan memang merupakan dampak ketidakmerataan hasil pembangunan, khususnya pembangunan yang dieksekusi oleh pemerintah kabupaten/kota. Kemiskinan yang terjadi tidak sekedar karena natural, kultural maupun struktural namun faktor lainnya yang dinamis.

Memang, jangkauan sosialisasi, edukasi tentang ‘hidup layak’ tidak sampai pada kelompok sasaran yang terpencar, terpencil. Kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, agaknya rakyat papan bawah lebih cenderung menikmati iklan, pariwara rokok. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar