dikotomi korupsi ala
révolusi méntal, dosa politik vs kejahatan politik
Indonesia adalah negara yang masih, sedang, selalu dan akan berkembang
serta berkemajuan mengejar bayang-bayang masa lalu. Sibuk berangan-angan bisa
mimpi di siang hari bolong. Sibuk lari di tempat mencari hari baik untuk
bertindak.
Ironis binti miris, jika ada politikus muda, politisi pendatang, mendadak
gagal paham, tiba-tiba putus masa depan justru sedang berada di sumber daya
ideologi yang berlimpah-ruah. Karena tidak sabar dengan uji kenikmatan dunia.
Maunya lebih dari itu.
Jujur saja, selama periode 2014-2019, gonjang-ganjing
politik dalam negeri didominasi lelucon politik. Menghadapi kemelut lokal,
presiden terkadang malah urun komentar. Wakil presiden yang ahli celetuk, kesaing.
Lebih heboh lagi. Media daring memang ciri khasnya memproduksi berita garing.
Maunya menjilat tetapi sejatinya menghujat.
Masih ingat sinyelemen utawa ngudal piwulang ki dalang Sobopawon, di
era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019 negara yang serba multi, penduduk Indonesia akan
melihat ulah laku, tingkah laku, perilaku penyelenggara negara dari dan atau
sebagai pelaku, pekerja, pegiat, penggila, petugas partai, masuk ketegori samimawon. masuk kategori tiwas édan tenan tetep ora keduman.
Nyaris tidak tidak ada perbedaan yang signifikan antara
yang ideologis banget, mati-matian dengan yang ideologis saja, ala kadarnya.
Ketergantungan yang amat
sangat terhadap sumber daya ideologi sebagai faktor peubah perjalanan bangsa
dan negara, menjadikan tingginya sensitivitas tingkat kepedulian penduduk
terhadap dinamika atau kebijakan terkait politik.
Perjalanan arus, aliran ideologi
atau politik anak bangsa tak lepas dari semboyan “jer basuki mawa béa”. Sandingannya adalah “no free lunch”. Asas kolektif dan
kelogial menjadikan korupsi sebagai dosa politik dan kejahata politik dan bisa
dianulir, diabolisi dengan hukum politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar