Halaman

Rabu, 21 Februari 2018

téga sengsarané, luwih téga patiné

téga sengsarané, luwih téga patiné

Wajar, kalau di éra mégatéga, doyan kursiné nanging wegah rekasané. Ikhwal ini semakin menjadi di tahun politik 2018 dan klimaksnya di tahun politik 2019.

Akhirnya, manusia politik dengan berbasis aliran manusia ekonomi, yang tak lain adalah upaya nyata mewujudkan ambisi, angan-angan, fantasi politik dengan semboyan modal minimal, hasil maksimal.

Dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, penduduk yang sudah ber-KTP-elektronik maupun yang belum, tetap adem ayem ngelakoni lakonnya sebagai umat beradab dan berbudaya.

Yang jelas, bahwasanya wong bodho nanging sering nglakoni, luwih pinter karo wong pinter nanging durung tau nglakoni.

Kalau ada gesekan, wajar karena jalan raya milik umum dipakai oleh semua moda angkutan. Kalau terjadi adu pantat, wajar di pasar rakyat sedang ada jual murah barang atau sembako oplosan, kedaluwarsa atau sisa ekspor.

Jangan diartikan kalau tahun politik adalah ibarat modus . mBuru uceng kelangan dheleg = mburu barang sepelé malah kelangan barang kang luwih gedhé.

Tak disangka, walau sduah diduga, memang sudah dari sono-nya kalau moral dan mental parpol juara umum pesta demokrasi 2014, tidak menunjukkan tanda rasa bersahabat kepada pihak peserta lainnya.

Mereka merasa kemenangan yang diraih berkat daya juang yang tak kenal lelah. Wajar, dalam menikmati kemenangan politik, mereka mengandalkan dan mengutamakan pasal tak kenal kompromi dengan pihak lawan. Bahkan kawan seiring yang patut dan layak dicurigai akan mbelot, mbalelo, sikat habis sebelum tunas. Pihak relawan yang menagih janji bagi hasil kekuasaan, yang meminta jatah balas jasa dan balas budi, tidak serta merta dipenuhi.

Namanya politik, demi raihan sukses politik, semua cara yang pernah ada, didaur ulang. Dikaji untuk mencari cara jitu dan mujarab untuk diterapkan. Kalau bisa, sekali tepuk 2@3 jabatan strategis, komersial tersapu bersih. Kalau bisa dinikmati bersama anak cucu, kerabat, dinasti, jangan cepat-cepat dibagi. Lupa, kalau perlu dengan gaya tunduk kepala, tapi hati mendongkol, dilakukan demi periode mendatang. Pasang muka manis, laku penuh santun, minimal memakai watak politik yang bisa menyusaikan diri dengan lingkungan dan siap menerkam.

Bukan politik namanya jika harus mengedepankan, mengutamakan, maupun menomorsatukan rasa tenggang rasa, tepo sliro maupun rasa kesetiakawanan. Karena justru untuk menjalankan politik – yang mana dimana daripada politik di NKRI bukanlah ideologi – dibutuhkan rasa cita rasa hasil ramuan ajaib mégatéga.

Apakah pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindakannya yang dinobatkan menjadi musuh rakyat. Kendati tipikor merugikan negara, tetapi tidk serta-merta, otomatis menjadi musuh negara.

Efek domino tipikor, utang luar negeri (sebagai hasil konektivitas dengan negara asing), sampai biaya politik menjadikan generasi yang belum lahir terbebani beban politik negara. Kebijakan politik negara yang bebas aktif, yang mempersilahkan investor asing, investor politik bebas melenggang masuk ke NKRI. Siap disambut dengan gelaran karpet merah di istana negara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar