NKRI lebih gemar praktik demokrasi administratif
Benar, betul, baik
memang bukan harga mati. Bukan diartikan secara matematis atau moral, etika ,
adat bangsa maupun nilai reliji. Ketika masuk kamus dan bahasa politik, maka
semua hal tadi akan tergantung mayoritas. Minimal menjadi abu-abu. Sepakat,
mufakat tergantung permintaan dan kekuatan pasar. Sentimen negatif hanya
berpengaruh di awal.
Tidak ada yang salah,
keliru, buruk dari penjabaran dan/atau praktik demokrasi.
Hafalan pertama untuk
peserta didik, anak didik adalah bahwasanya demokrasi – lepas dari makna
kebhasaan – diterjemahbebaskan sebagai kedaulatan rakyat. Maknanya, kedaulatan
ada di tangan rakyat.
Praktik atau yang
terjadi di lapangan bahkan istana, yaitu kedaulatan adalah kekuasaan
menjalankan negara dan berada di tangan penguasa. Rakyat sudah melimpahkan hak
kedaulatan ke tangan wakil rakyat, kepala daerah, kepala negara meliwati pola
pemilihan langsung.
Soal nama bakal calon,
kandidat, nominator wakil rakyat, kepala daerah maupun kepala negara, bukan
wewenang rakyat. Sudah ada aneka partai politik yang mengurusnya. Rakyat hanya
terima jadi.
Akhirnya, jika tak
selera dengan suatu produk parpol, bisa pakai plan B atau alternatif lain. Banyak
pilihan.
Kendati rakyat
berpengalaman memilih atau menggunakan hak pilih di hari-H pesta demokrasi,
tetap tak akan bisa menebak bagaimana modus pilihannya. Apakah sesuai harapan
berdasarkan janji kampanye. Atau malah akhirnya mengusap dada dan tepuk jidat.
NKRI sebagai negara
berdasarkan hukum, maka tak heran gerakan, pergerakkan politik musiman, politik
lima tahunan didukung oleh pasal hukum.
Soal ada tidaknya kode
etik bagi pelaku, pegiat, pekerja partai politik itu nomor terakhir. Yang utama
dan pertama adalah kebijakan partai. Tepatnya kebijakan oknum ketua umum. Terlebih
jika ybs menyandang Hak Prerogatif. Sehingga kebijakan sang oknum ketua umum
adalah hukum bulat dan mengikat serta tak dapat diganggu gugat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar