Parpol Islam Wajib Curi Start
AWAL FAKTA
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) akhirnya mengumumkan nomor urut partai politik (parpol) yang telah
ditetapkan lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2019, Ahad (18/2/2018)
malam.
KPU memberikan 14 nomor
urut untuk partai nasional dan empat untuk partai lokal di Aceh.
Artinya, persaingan
sampai akar rumput sudah dimulai secara resmi. Mesin partai siap tancap gas.
Kalkulasi politik sudah digemakan. Argo politik sudah mulai bergulir. Jangan
lupa, biaya politik sudah berdetak semenjak parpol masih dalam kandungan atau
angan-angan.
Bagi parpol peserta
Pemilu 2014, atau bahkan pemilu periode sebelumnya di era reformasi, untuk
mempertahankan perolehan suara saja atau jumlah kursi di legislatif, bukan soal
mudah.
Parpol dan satu Golkar yang
mengalami tempaan, gemblengan di zaman Orde Baru, tentu akan kerepotan di
pemilu legislatif serentak dengan pemilhan presiden yang akan dilaksanakan hari
Rabu, 17 April 2019.
Bola politik tidak hanya
bundar, tetapi juga panas dan liar. Jangan lupa kawan, kalau anak ideologis
penguasa tunggal Orde Baru, dengan judul Partai Berkarya, siap meramaikan
kontestasi Pemilu 2019.
Jangan lengah juga
kawan, kalau masih terjadi menu politik ‘nasakom’ peninggalan Orde Lama akan
tampil dengan kemasan anyar, gres tenan.
AWAL MODUS
Pengalaman mengatakan,
saat kampanye, politisi dengan watak politiknya memposisikan diri, menampilkan
diri, membawakan diri sebagai pelayan yang setia. Begitu setelah berkuasa,
langsung, otomatis mempraktikkan diri sebagai bandar, penguasa tunggal, majikan, tuan besar, juragan yang seolah
merasa sebagai penentu nasib pemilihnya.
Pasca Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sampai bergulirnya reformasi mulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998, kedaulatan politik dalam mengatur tata kelola kehidupan
bernegara semakin mengarah kepada scenario dan konspirasi pasar internasional.
Mentalitas anak bangsa yang wajib memiliki otonomi diri bangsa Indonesia,
hingga kini juga masih belum ada gejala positif. Rasa sikap inferior, rendah diri
di hadapan bangsa asing, masih
mendominasi manusia politik Nusanatara.
Jangan heran kalau masih
terdengar jeritan, ratapan, ujar keluhan dari anak bangsa yang tuna ideologi.
Tak sedikit kita jumpai eksploitasi anak bangsa yang terjebak “main dadu politik”.
Modus yang tak layak bagi mereka di
usianya yang masih awal langkah. Usia/umur yang rentan wawasan bela negara,
kebangsaan. Seyogyanya masih menikmati
kasih sayang keluarga, masa bermain dan menyaynyi lagu anak-anak, mengenyam
pendidikan serta menentukan jati diri dan citra diri.
Pasca reformasi yang
dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, menghasilkan bahwasanya keberadaan partai
politik sebagai perekat atau peretak bangsa. Di dalam tubuh internal partai
bisa terjadi konflik, apalagi saat menghadapi lawan politik. Nafsu syahwat
kawanan politikus jebolan Orde Baru menjadi penyubur dendam politik tak
berkesudahan.
Pengkhianat politik
bukan pasal tercela. Tipikor menjadi produk unggulan partai. Bagaimana parpol
memposisikan presiden hanya sebagai petugas partai. Ketua umum parpol yang
mempunyai hak prerogatif lokal. Bencana politik menjadi menu harian kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
REKAYASA SOSIAL
Hukum tidak mengebal
kejahatan politik. Bahkan konflik politik diperhalus. Menjadi penyebab utama
konflik sosial.
Kita simak UU 7/2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, khususnya pada :
Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a. permasalahan yang
berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b. perseteruan antarumat
beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c. sengketa batas wilayah
desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d. sengketa sumber daya
alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e. distribusi sumber daya
alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Pasti, ada asap ada api.
Mengapa huruf a. tersurat seperti demikian jadinya.
Jadi, jika ada kasus
bencana politik, anggap wajar. Efek domino dari negara multipartai memang
menimbulkan multiefek.
MENGAPA HARUS CURI START
Singkat kata, mengapa
harus curi start. “Berbuat baik, jangan ditunda-tunda”, lagu saja berlagu.
Permasalahan bangsa yang
sudah sampai darurat bencana, tentunya sudah bisa dideteksi sejak dini.
Tidak masuk akal, jika
tiba-tiba terjadi kejadian luar biasa (KLB) ataupun terjadi perkara biasa di
luar (maksudnya, pelakunya kebal hukum, atas nama kosntitusi tidak bisa
dipidanakan).
Kalau menunggu komando
pemerintah, korban sudah mati tenggelam. Rumah sudah ludes terbakar. Rakyat mulai
mati kelaparan, gizi buruk atau pangan defisit dan langka.
Modus pembiaran karena
lokasi atau korban bukan dari konco dw. Menjadi gaya politik di éra mégatéga
2014-2019. Menghadapi lawan politik, tak ayal penguasa akan menggunakan jurus
serbatéga. Bisa lebih sadis daripada penjahat tersadis yang pernah ada di film.
Jad, langkah politis
parpol Islam, bersifat menerus, hari demi hari. Tidak tergantung periode. Tidak
harus menunggu ada pesta demokrasi, baru sibuk rapatkan barisan.
JangaN sampai menunggu
setelah korban berjatuhan, baru sadar untuk berbuat.
Terlalu banyak PR bangsa
yang tak akan selesai kendati semua manusia politik bersatu. Bahkan jika
dikerjakan 24 jam sehari, tetap tak akan tuntas.
Terlebih jika ada pihak
yang menjadi pecundang. Menggerogoti kerukunan dan persatuan dari dalam. Atau tepatnya
bagian penguasa yang jauh dari rakyat.
Ironis binti miris, jika
semakin jauh dari rakyat, Pancasila akan mengalami perubahan bentuk.
Bersimbiose mutulistis dengan asupan gizi skala internasional. Memang semua
tergantung pelakunya. Terlebih jika sang pelaku sudak pilih tanding. Sudah
sejak dari sono-nya mempunyai garis ideologi yang bisa diwariskan, turun
temurun.
Kalau ada dan memang
ada, bahwasanya apesing negoro margo panguwasa demen noto CPW (citra,
pesona, wibawa). Anggap sebagai bagian PR dalam negeri.
WARISAN SERBA TIMPANG
Momok pembangunan
nasional adalah masih terjadinya warisan disparitas atau kesenjangan,
ketimpangan antar daerah dari berbagai aspek. Salah satunya atau bahkan yang
menentukan adalah sumber daya manusia (SDM).
Ilmu ekonomi yang
dipraktikan rakyat adalah sebelum fajar berkibar sudah meninggalkan rumah,
dengan perut disumpal air putih dan santapan ringan dan minim, sore pulang bawa
rezeki buat keluarga. Meniru gaya hidup burung. Tak mau tertipu gemerlap mewah
dunia. Ikut arus dunia namun tetap tidak terhanyut arus.
Ada beberapa renungan,
ternyata belantara politik Nusantara, mau tak mau, menjadikan rakyat harus
mampu bertahan hidup (survive). Rakyat sudah terbiasa hidup sederhana,
mengencangkan ikat pinggang, tidak mengkonsumsi pangan impor. Bukannya
pemerintah dengan revolusi mental tidak peduli nasib perut wong cilik. Namun
setiap ganti pimpinan, rakyat dijadikan obyek uji coba kebijakan. Akhirnya
terdapat beberapa dinamika fakta ketahanan ekonomi rakyat.
Pertama, ketimpangan
politik ekonomi. Ketika para pembantu
presiden mengikuti aturan menyampaikan laporan kekayaannya, ternyata oknum
menteri unsur partai politik, tidak ada yang masuk kategori keluarga
pra-sejahtera Kemensos. Diharapkan mereka tinggal mikir urusan negara doang.
Fokus urus urusan dapur negara yang memebri makan ratusan juta rakyat. Tidak
takut kena gusur, perombakan serial kabinet balas jasa.
Kedua, ketimpangan
kesempatan dan peluang. Tradisi miskin kaum elit (ekonomi sulit) semakin
mendapat tempat dan bertambah peminatnya.
Silsilah anak keturunan keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa faktor
penyebab, yaitu lingkungan tempat tinggal serta pendidikan orang tua
mereka. Orang tua yang bekerja,
berijazah SMA, sudah puas jika anaknya mengenyam pendidikan dan tamat SMA.
Perjalanan hidup anak diserahkan kepada mekanisme pasar, kepada kehendak alam.
Masyarakat didominasi watak manusia yang mempoisisikan diri sebagai penerima
nasib yang baik. Tak mau bertingkah dan banyak tingkah.
Ketiga, ketimpangan
bursa tenaga kerja. Generasi muda terjebak budaya cepat saji, budaya instan.
Bagaimana burung mencari makan, diterjemahbebaskan, pagi pergi pulang menenteng
segepok Rp. Sudah bagus, dalam arti masuk kategori produktivitas harian.
Generasi kampus tak mau kalah gaul, gengsi dan gaya hidup. Mereka ingin tampil
keren. Begitu wisuda mereka siap kerja di “daerah bertuan”, siaga ditempatkan
di “lahan basah”. Sanggup menerima gaji dengan standar dollar negara maju.
Keempat, ketimpangan
kutub jaya-kutub miskin. Jika disebutkan kekayaan orang kaya Indonesia, yang
berada di beberapa puluh atau ratus orang,
bisa sebanyak kekayaan orang Indonesia sisanya. Pertumbuhan ekonomi
menjadikan muncul atau bertambahnya golongan menengah ke atas. Orang kaya
memang tidak terpengaruh gejolak politik dalam negeri, Justru di tangan
merekalah koordinasi, kendali, kontrol politik.
Kelima, ketimpangan
dalam menghadapi bencana ekonomi. Pada saat yang sama nyaris semua rakyat
membutuhkan pangan, seperti di bulan Ramadhan 1437 H saat tulisan ditayangkan,
terjadi heboh pasar. Kebijakan pemerintah seperti diduga, berat sebelah ke
kutub produsen. Operasi pasar, gaji bulan ke-13 serta pernik-pernik kehebatan
pemerintah digulirkan dengan seksama. Orang politik serta merta cuci tangan.
KETIMPANGAN IDEOLOGI
Adanya adagium belum
meminang sudah menimang. Beda dengan karakter manusia politik, mempunyai jargon
minumnya dimana, mabuknya dimana.
Miminal dunia politik
mengenal humor politik yang selalu terkini, yaitu makan di dalam, bérak di luar
atau makan di luar, bérak di dalam.
Koalisi parpol di
tingkat nasiaonal, beda dengan di tingkat provinsi. Apalagi sampai di tingkat
kabupaten/kota, koalisi terjadi hanya karena kepentingan lima tahun ke depan.
Paslon tunggal di pilkada serentak 2018 tentu ada api yang membara. Ada apa
dengan dinasti politik dan dendam politik.
Di akar rumput, di
masyarakat papan bawah, kelompok masyarakat kurang beruntung, uneducated
people, permanent underclass, kalangan pribumi asli keturunan, paguyuban
bumiputera, namanya ideologi bebas, tak dikenal.
Norma yang berlaku di
masyarakat, apapun partai politiknya, asal masih masuk kategori sebagai insan
yang baik dan benar. Bukannya alergi, antipati, apriori terhadap bencana
politik. Sudah masuk kuadran muak-muak dengan kegenitan manusia politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar