Halaman

Senin, 12 Februari 2018

mèntal mukiyo 2018, skenario fair vs skenario ambisius



mèntal mukiyo 2018, skenario fair vs skenario ambisius

  Indonesia merupakan negara yang sedang, masih, akan dan selalu tumbuh kembang, sesuai dengan praktik demokrasi (baca, kedaulatan penguasa) yang stabil, adem ayem tata tentrem karta raharja, jalan di tempat. Mengandalkan populasi keempat terbanyak di dunia serta sebagai negara multipartai, multipilot.

Tenang kawan. Praktik demokrasi yang ditampilkan liwat pesta demokrasi. Katakan, tahun politik 2018 dengan pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

Tidak ada kata terlambat bagi yang merasa bisa jadi pemimpin bangsa dan negara. Masih ada waktu untuk sukses ulang bagi penguasa 2014-2019 di Pemilu 2019 yang terdiri atas Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan digelar serentak pada hari Rabu, 17 April 2019.

Bagi pesaing yang akan frontal berhadapan dengan petahana, penjawat atau penguasa, tidak hanya peras keringat, kuras dana maupun peras otak, banting tulang. Banyak skenario yang mau tak mau akan ada “skenario makan skenario”.

Namanya politik. Modus, rekayasa, rekadaya, taktik tulung mentung, strategi menggunting dalam lipatan menohok kawan seiring, jurus tipu-tipu apa saja menjadi sah, layak dan konstitusional.

Memang ada skenario BaU. Skenario BaU (Business as Usual) utawa tanpa perubahan apapun. Mengasumsikan bahwa tidak ada intervensi kebijakan apapun. Karena sejak dini penguasa sudah menyaipkan kebijakan yang akan memperlancar skenario politiknya. Penggunaan bahan bakar negara saat ini akan terus berlanjut sepanjang masih tersedia cadangannya. Pemerintah memang sudah menyiapkan SDM dengan asas taat, patuh, loyalnya total jenderal.

Agar terlihat cerdas, maka ada skenario fair yaitu katanya menggunakan kemampuan sendiri. Serta siap dengan skenario ambisius yaitu cuma melanjutkan tradisi  yaitu jika mendapat dukungan Internasional.

Skenario untung-untungan, adalah memang bangsa dan rakyat, khususnya wong cilik masih melihat jasa Bung Karno. Yang mendapat warisan, tanpa modal keringat. Itulah inilah éra mégatéga.

Cekak aos, bukan kaos cekak. Singkat kata, oknum pelaku lama maupun saja pelaku kambuhan maupun lagi pelaku wajah baru, sudah hafal luar kepala skenario politik Nusantara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar