Halaman

Minggu, 25 Februari 2018

jangan pertentangkan NKRI dengan mitos Nusantara



jangan pertentangkan NKRI dengan mitos Nusantara

Bukan orang iseng yang menjurus ke orang usil, tapi orang dan/manusia pribumi yang menghuni bumi Nusantara. Hobi mengotak-atik secara matematis ketatakehidupan alam yang beriringan dengan alam manusia.

Masih terbayang di sejarah peradaban. Yang mana dimana, anak bangsa terjebak siapa peraih, penerima gelar Noto Negoro. Akal, nalar, logika politik digiring ke suatu figur, sosok yang dianggap layak menerima wangsit atau wahyu tiban. Berdasarkan nama yang tentunya berbau nama Jawa. Yang mati jika dipangku, diplesetkan menjadi yang mati kutu ketika duduk penuh kuasa.

Bukan berarti yang punya nama lain, tidak pantas muncul. Atau memang sudah kodratnya hanya sebagai pelengkap. Ada paribasan Jawa untuk model ini. Sementara tidak ditayangkan.

Agar tampak multi-ilmiah, maka otak-atik selain symbol sebuah nama, dilengkapi dengan pembayangan akan adanya satria piningit. Agar semakin berklas dibumbui dengan siapa penerima wahyu kedaton. Siapa yang dianggap layak menerima takhta, mahkota berikutnya.

Jadi, elektabilitas sang calon lebih ditentukan mitos daripada fakta. Seolah anak bangsa sudah kehabisan akal sehat. Wajar kalau lantas melirik produk asing –bahkan orang asing – yang dianggap mempunyai ras unggul. Dibuktikan dengan sertifikat laik manusia unggul.

Campur tangan alam bukan hanya mewujudkan alam khayal, tetapi malah kita sudah memetik efek dominomya. Banyak pemimpi yang terjebak alam khayal politik. Ujung-ujungnya – tak ada kaitannya dengan “UUD” – bangsa pribumi malah terjebak kubangan bukan hanya karena berméntal bangsa témpé. Kalau dibilang mental budak, mental jongos dan sebutan heroik lainnya, juga tidak bisa ditampik mentah-mentah.

Apakah di periode 2014-2019 sebagai ambang bawah, titik nadir dari pola mental. Minimal dengan gaya garang garing. Ketika presiden yang katanya pilihan mayoritas rakyat hanya diposisikan, didudukkan hanya sebagai petugas partai.

Rakyat tetap berharap jangan sampai menjadi bangsa keledai atau bagai kerbau dicocok hidung. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar