Halaman

Selasa, 27 Februari 2018

main hakim sendiri vs main polisi sendiri



main hakim sendiri vs main polisi sendiri

Karena diungkap, disingkap kapan saja atau kapan-kapan dalam waktu yang tak ditentukan sampai kapannya, akhirnya menjadi ungkapan.

Ungkapan “main hakim sendiri” yang konon kalau pakai bahasa Paijo adalah eigenrichting. Penyebabnya mungkin dikarenakan sang hakim tidak hadir di setiap persoalan, kejadian perkara, kasus di masyarakat. Katakanlah, rakyat menjadi korban dari tindakan oknum yang melawan hukum.

Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) wajar kalau dilakukan oleh pihak yang buta hukum. Pelakunya bisa perseorangan atau secara massal. Biasanya dilakukan secara spontanitas, tanpa komando tetapi bisa dipicu oleh sang provokator. Memungkinkan bisa dan dapat dilakukan oleh oknum pejabat sipil, atau oknum aparat penegak hukum.

Yang dominan adalah bentuk hukuman fisik di tempat bagi pelaku yang tertangkap tangan saat melakukan aksi kejahatan. Di luar OTT KPK tentunya.

Kejadian praktik eigenrechting sebagai bentuk lain dari dalil yang menang banyak yang menentukan. Mirip atau banyak kesamaan dengan praktik demokrasi.

Betul kalau bahwasanya dalil “main hakim sendiri” secara substansial, material, kandungan dan bobotnya tak jauh dari dalil “main polisi sendiri”. Akhirnya keduanya memang jadi rancu. Tapi tak salah kalau semuanya mempunyai basis yang sama, yaitu menegakkan hukum rimba. Yang kuatlah yang kuasa.

Kasihan kalau aparat penegak hukum – baik oknum maupun institusional – dijadikan bahan baku, bahan dasar ungkapan atau sebutan lainnya yang nyata-nyata bertolak belakang dengan wewenangnya. Minimal dengan tugas pokok dan fungsi utamanya.

Kalau kasus berlapis “Cicak vs Buaya”, malah membuat hukum sendiri menjadi bingung. Hukum makan hukum. Pasal dianulir dengan pasal.

Memangnya aparat penegak hukum lebih loyal dalam hal penegakkan hukum politik. Berkat perubahan ketiga UUD NRI 1945 maka negara Indonesia adalah negara hukum. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar