main hakim sendiri vs main polisi sendiri
Karena diungkap, disingkap kapan
saja atau kapan-kapan dalam waktu yang tak ditentukan sampai kapannya, akhirnya
menjadi ungkapan.
Ungkapan “main hakim sendiri”
yang konon kalau pakai bahasa Paijo adalah eigenrichting. Penyebabnya
mungkin dikarenakan sang hakim tidak hadir di setiap persoalan, kejadian
perkara, kasus di masyarakat. Katakanlah, rakyat menjadi korban dari tindakan
oknum yang melawan hukum.
Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting)
wajar kalau dilakukan oleh pihak yang buta hukum. Pelakunya bisa perseorangan
atau secara massal. Biasanya dilakukan secara spontanitas, tanpa komando tetapi
bisa dipicu oleh sang provokator. Memungkinkan bisa dan dapat dilakukan oleh
oknum pejabat sipil, atau oknum aparat penegak hukum.
Yang dominan adalah bentuk
hukuman fisik di tempat bagi pelaku yang tertangkap tangan saat melakukan aksi
kejahatan. Di luar OTT KPK tentunya.
Kejadian praktik eigenrechting
sebagai bentuk lain dari dalil yang menang banyak yang menentukan. Mirip atau
banyak kesamaan dengan praktik demokrasi.
Betul kalau bahwasanya dalil
“main hakim sendiri” secara substansial, material, kandungan dan bobotnya tak
jauh dari dalil “main polisi sendiri”. Akhirnya keduanya memang jadi rancu.
Tapi tak salah kalau semuanya mempunyai basis yang sama, yaitu menegakkan hukum
rimba. Yang kuatlah yang kuasa.
Kasihan kalau aparat penegak
hukum – baik oknum maupun institusional – dijadikan bahan baku, bahan dasar
ungkapan atau sebutan lainnya yang nyata-nyata bertolak belakang dengan
wewenangnya. Minimal dengan tugas pokok dan fungsi utamanya.
Kalau kasus berlapis “Cicak vs
Buaya”, malah membuat hukum sendiri menjadi bingung. Hukum makan hukum. Pasal dianulir
dengan pasal.
Memangnya aparat penegak hukum
lebih loyal dalam hal penegakkan hukum politik. Berkat perubahan ketiga UUD NRI
1945 maka negara Indonesia adalah negara hukum. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar