saatnya impor kopi bekas seduhan pertama
Warung kopi, kedai kopi,
penjaja kopi instan keliling atau sebutan lainnya khas daerah, mempunyai kisah,
cerita, riwayat tersendiri.
Peminum kopi, dengan
berbagai alasan singgah ke warung kopi.
Katakan, sebagai ganjal
perut kosong. Kalau belum ngopi, mata masih berat diajak kompromi. Selain
gaya merokok sebagai kegiatan pertama sejak bangun pagi.
Bagi pekerja/buruh,
karyawan maupun pegawai, sebelum beraktivitas rutuin, diawali dengan minum
kopi. Pada umumnya mereka seolah sudah menjadi pelanggan warung kopi dekat
tempat kerja atau kantor.
Secangkir kopi dihirup
dengan nikmatnya. Seolah hirupan terakhir dalam hidupnya. Pikiran sudah mulai
bekerja dengan sengatan pertama aroma kopi. Belum diseruput. Diseruput dengan
gaya khas, seolah saying kalau habis.
Setengah cangkir, minta
tambah air mendidih. Ditunggu sambil ikut perundingan gaya bebas. Forum bebas
ini hanya bicang sekitar nasib. Semakin saing, pengunjung senasib semakin
bertambah. Butuh waktu produktif, tepatnya menyita waktu produktif di awal
kerja pagi hari, karena panggilan aroma kopi.
Mungkin, kalau sudah air
kopi di cangkir sudah tuidak hitam. Prosesi menikmati kopi berakhir tanpa
aklamasi. Hanya adat dan kebiasaan lokal.
Lain kejadian perkara. Walau
dimungkinkan pasalnya sama.
Di daerah tertentu yang
ada di wilayah NKRI, warung kopi bisa menjadi bursa tenaga kerja, lowongan
kerja. Minimal pusat informasi. Kawanan pemburu berita, khususnya berita
miring. Sumber berita versi rakyat yang bebas kritikan. Rakyat sadar, sudah
tahu apa dan siapa serta bagaimana keadaan sesungguhnya.
Soal di warung kopi ada
pesanan lain atau misi tertentu, itu soal lain. Tempat orang nguping, curui-curi
info khusus, hal yang wajar.
Kita tidak tahu, ada
berapa jenis partai kopi yang beredar resmi. Kalau ada merek kopi luwak, jangan
diartikan ada kopi ber-DNA binatang haram.
Kepedulian pemerintah
maupun pengusaha kopi, jelas kental dan hitamnya, nyata dan akan bersaing. Demi
ketahanan pangan, tepatnya ketahanan minum anak bangsa akan kopi. Pemerintah dan/atau
pengusaha berlomba menjaga ketersediaan kopi dalam negeri. Diharapkan impor kopi curah.
Kopi sebagai produk
unggulan akan dibarengi dengan produk lainnya. Yang akan dikonsumsi rakyat banyak
dan kebanyakan. Tidak etis kalau menyebutkan apa saja produk lainnya itu. Sudah
rahasia umum dan rahasia perusahaan. Soal skenario impor pangan, tepatnya bahan
baku minuman atau minuman jadi dalam kemasan tahan lama. Itu pekerjaan kompromi
antara manusia politik (penguasa) dengan manusia ekonomi (pengusaha). [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar