Halaman

Kamis, 15 Februari 2018

saatnya impor kopi bekas seduhan pertama



saatnya impor kopi bekas seduhan pertama

Warung kopi, kedai kopi, penjaja kopi instan keliling atau sebutan lainnya khas daerah, mempunyai kisah, cerita, riwayat tersendiri.

Peminum kopi, dengan berbagai alasan singgah ke warung kopi.

Katakan, sebagai ganjal perut kosong. Kalau belum ngopi, mata masih berat diajak kompromi. Selain gaya merokok sebagai kegiatan pertama sejak bangun pagi.

Bagi pekerja/buruh, karyawan maupun pegawai, sebelum beraktivitas rutuin, diawali dengan minum kopi. Pada umumnya mereka seolah sudah menjadi pelanggan warung kopi dekat tempat kerja atau kantor.

Secangkir kopi dihirup dengan nikmatnya. Seolah hirupan terakhir dalam hidupnya. Pikiran sudah mulai bekerja dengan sengatan pertama aroma kopi. Belum diseruput. Diseruput dengan gaya khas, seolah saying kalau habis.

Setengah cangkir, minta tambah air mendidih. Ditunggu sambil ikut perundingan gaya bebas. Forum bebas ini hanya bicang sekitar nasib. Semakin saing, pengunjung senasib semakin bertambah. Butuh waktu produktif, tepatnya menyita waktu produktif di awal kerja pagi hari, karena panggilan aroma kopi.

Mungkin, kalau sudah air kopi di cangkir sudah tuidak hitam. Prosesi menikmati kopi berakhir tanpa aklamasi. Hanya adat dan kebiasaan lokal.

Lain kejadian perkara. Walau dimungkinkan pasalnya sama.

Di daerah tertentu yang ada di wilayah NKRI, warung kopi bisa menjadi bursa tenaga kerja, lowongan kerja. Minimal pusat informasi. Kawanan pemburu berita, khususnya berita miring. Sumber berita versi rakyat yang bebas kritikan. Rakyat sadar, sudah tahu apa dan siapa serta bagaimana keadaan sesungguhnya.

Soal di warung kopi ada pesanan lain atau misi tertentu, itu soal lain. Tempat orang nguping, curui-curi info khusus, hal yang wajar.

Kita tidak tahu, ada berapa jenis partai kopi yang beredar resmi. Kalau ada merek kopi luwak, jangan diartikan ada kopi ber-DNA binatang haram.

Kepedulian pemerintah maupun pengusaha kopi, jelas kental dan hitamnya, nyata dan akan bersaing. Demi ketahanan pangan, tepatnya ketahanan minum anak bangsa akan kopi. Pemerintah dan/atau pengusaha berlomba menjaga ketersediaan kopi dalam negeri. Diharapkan impor kopi curah.

Kopi sebagai produk unggulan akan dibarengi dengan produk lainnya. Yang akan dikonsumsi rakyat banyak dan kebanyakan. Tidak etis kalau menyebutkan apa saja produk lainnya itu. Sudah rahasia umum dan rahasia perusahaan. Soal skenario impor pangan, tepatnya bahan baku minuman atau minuman jadi dalam kemasan tahan lama. Itu pekerjaan kompromi antara manusia politik (penguasa) dengan manusia ekonomi (pengusaha).  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar