hukum rimba vs restu istana
Paribasan Jawa, begini
tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksudnya adalah, wong
loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha
sekongkol.
Tidak perlu risau. Semua
kejadian perkara berbasis persekongkolan hanya terjadi di sebuah kerajaan yang juga
hanya ada di dunia pewayangan. Banyak versi memang karena sudah universal,
mendunia. Sekedar cerita atau dongèng.
Ki dalang Sobopawon,
unjal ambekan karo uo-uro :
Dongèng-dongèng
Ono kodok mlebu ngelèng
Disogok wudulé gèpèng
Di dunia manusia,
uro-uro ini masih berlaku. Disesuaikan zaman menjadi :
Demokrasi-demokrasi
Ono parpol ngoyak kursi
Ora perlu disogok wis iso korupsi
Seangker-angkernya hutan
atau sebutan lainnya, masih kalah keramat, wingit dengan istana tempat tinggal
raja hutan.
Karena istana adalah simbol
kekuasaan penguasa yang diperoleh secara konstitusional, demokratis. Baik-buruk,
benar-salah, ditentukan suara mayoritas.
Konon, fitnah politik yang
sebagai hak prerogatif penguasa, merupakan sinerji dari fitnah tahta, fitnah
harta, dan fitnah wanita. Yang terakhir disebut bukan untuk mendiskreditkan
kaum hawa, perempuan, wanita. Emansipasi politik wanita malah menjerumuskan
penganutnya ke kubangan politik yang serba aneh, asing, ajaib.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar