Halaman

Selasa, 20 Februari 2018

hukum rimba vs restu istana



hukum rimba vs restu istana

Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksudnya adalah,   wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.

Tidak perlu risau. Semua kejadian perkara berbasis persekongkolan hanya terjadi di sebuah kerajaan yang juga hanya ada di dunia pewayangan. Banyak versi memang karena sudah universal, mendunia. Sekedar cerita atau dongèng.

Ki dalang Sobopawon, unjal ambekan karo uo-uro :
Dongèng-dongèng
Ono kodok mlebu ngelèng
Disogok wudulé gèpèng

Di dunia manusia, uro-uro ini masih berlaku. Disesuaikan zaman menjadi :

Demokrasi-demokrasi
Ono parpol ngoyak kursi
Ora perlu disogok wis iso korupsi

Seangker-angkernya hutan atau sebutan lainnya, masih kalah keramat, wingit dengan istana tempat tinggal raja hutan.

Karena istana adalah simbol kekuasaan penguasa yang diperoleh secara konstitusional, demokratis. Baik-buruk, benar-salah, ditentukan suara mayoritas.

Konon, fitnah politik yang sebagai hak prerogatif penguasa, merupakan sinerji dari fitnah tahta, fitnah harta, dan fitnah wanita. Yang terakhir disebut bukan untuk mendiskreditkan kaum hawa, perempuan, wanita. Emansipasi politik wanita malah menjerumuskan penganutnya ke kubangan politik yang serba aneh, asing, ajaib.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar