Halaman

Kamis, 15 Februari 2018

omah olo diujo negoro



omah olo diujo negoro

Omah olo bukan berarti rumah yang menurut standar PBB masuk kategori rumah tidak layak huni. Tak ada kaitan dengan umur teknis bangunan.

Tepatnya, adalah rumah atau bangunan gedung yang mana dimana ternyata menjadi tempat penyakit masyarakat atau tindak 5 M. Mo Limo menurut versi bangsa dan suku Jawa. Sengaja di olahkata ini, “mo limo” tidak dibahas. Anggap semua khalayak ramai sudah dong.

Apa itu penyakit masyarakat utawa pekat, sudah ada bahasa resmi dari pemerintah. Tidak perlu dijelaskan di forum.

Jadi, omah olo, di éra mégatéga, rajatéga, memang menjelma atau berwujud tidak hanya sebagai sebuah hotel atau losmen. Bisa merupakan bentuk kawasan. Secara defacto dan/atau dejure, sebagai cagar alam yang dilindungi pemerintah atau negara. Sebagai obyek auat tempat tujuan wisata pihak tertentu, khusus dan yang bebas hukum.

Dalih dan dalil, minimal sebagai penunjang, penopang pendapatan asli daerah, maka walau tak ada izin resmi. Namun keberadaan omah olo menjadi bagin integral dari suatu daerah. Bahkan menjadi nilai jual dan daya tarik.

Jangan artikan jika ada suatru daerah yang menjadikan omah olo sebagai budaya lokal.

Bahkan pemerintah maupun pemerintah derah, menyatakan suatu kawasan sebagai lokalisasi omah olo. Daripada omah olo menyatu dengan perumahan dan kawasan permukiman. Atau berderet sepanjang jalan raya. Tempat ajang temu sopir (ngaso, mampir). Tak jarang bisa sebagai ajang temu berbagai pihak yang bekepentingan “serupa tapi tak sewajah”.

Kalau dipetakan, lokalisasi omah olo, menjadi kehidupan malam hari. Menjadi sumber upeti aparat penegak hukum maupun aparat daerah. Kelebihan yang terasa adalah bisa menjadi bahan pertimbangan untuk naik pangkat atau jabatan.

Kalau dibilang sebagai sumber, pemacu dan/atau pemicu konflik sosial. Pemerintah liwat pihak berwajib, sudah punya pasal antisipatif.

Memang, pemerintah atau presiden tak mungkin blusukan tematik sampai ke lokalisasi omah olo. Ketika gubernur menjadi perpanjangan tangan, apa gunanya. Justru, yang menjadi kambing hitam terakhir, adalah Ketua RT. Aparat daerah bukan, pekerja sosial bukan. Pendataan warga atau ketua RT sebagai ujung tombak pemerintah, memang multimanfaat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar