Halaman

Senin, 26 Februari 2018

kewajiban pemerintah vs elektabilitas penguasa



kewajiban pemerintah vs elektabilitas penguasa

Apakah di periode 2014-2019 sebagai ambang bawah, titik nadir dari pola mental. Minimal dengan gaya garang garing sebagai simbol ketakberdayaan. Tepatnya, dimulai dari presiden ketujuh RI - yang katanya pilihan mayoritas rakyat pemilih - hanya diposisikan, didudukkan, distatuskan hanya sebagai petugas partai.

Tak ada hubungan, keterkaitan, interaksi atau efek domino karena ada  penggabungan kementerian Kehutanan dengan kementerian Lingkungan Hidup di episode kabinet kerja dengan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pelakunya dinilai tidak bertanggung jawab karena menyebabkan hutan rusak. Soal merugikan negara atau menurunkan wibawa negara, soal nanti.

Yang lebih runyam lagi, kita tidak mengetahui persis siapa pelaku karhutla. Mereka seperti “ikut musnah terbakar” bersama hutan yang sudah rusak. Presiden Joko Widodo sempat menyambangi dan blusukan ke lokasi sampel kebakaran, tetapi hal itu seperti tidak berdampak. Beda dengan dampak nyata karhutla yang jelas merusak.

Sepertinya ada pihak yang mempunyai program/kegiatan karhutla. Bukan atau jangan diartikan ada skenario global.

Bangsa pribumi di tahun politik 2018 wajib bersyukur dan berterima kasih berat kepada pemerintah. Berkat adanya pesta olahraga Asian Games XVIII di Jakarta dan Palembang. Siap dibuka oleh presiden pada tanggal 18.08.2018 maka karhutla menjadi fokus kepedulian. Jangan sampai asap akibat karhutla mengganggu prosesi AG XVIII.

Sudah ada satgas atau bahkan densus anti-kebakaran. Ditunjang relawan yang siap berjibaku sebagai petugas sosial pemadam kebakaran. Garda pemuda siap tempur menghalau asap jangan sampai merusak citra bangsa.

Rakyat dengan doa manjurnya diharapkan mampu menarik simpati Tuhan Yang Maha Esa, agar hujan turun di kawasan lokasi kejadian perkara karhutla. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar