kewajiban pemerintah vs elektabilitas penguasa
Apakah di periode 2014-2019 sebagai ambang bawah, titik nadir dari pola
mental. Minimal dengan gaya garang garing sebagai simbol ketakberdayaan. Tepatnya,
dimulai dari presiden ketujuh RI - yang katanya pilihan mayoritas rakyat pemilih
- hanya diposisikan, didudukkan, distatuskan hanya sebagai petugas partai.
Tak ada hubungan, keterkaitan, interaksi atau efek domino karena ada penggabungan kementerian Kehutanan dengan
kementerian Lingkungan Hidup di episode kabinet kerja dengan bencana kebakaran
hutan dan lahan (karhutla). Pelakunya dinilai tidak bertanggung jawab karena
menyebabkan hutan rusak. Soal merugikan negara atau menurunkan wibawa negara,
soal nanti.
Yang lebih runyam lagi, kita tidak mengetahui persis siapa pelaku karhutla.
Mereka seperti “ikut musnah terbakar” bersama hutan yang sudah rusak. Presiden
Joko Widodo sempat menyambangi dan blusukan ke lokasi sampel kebakaran, tetapi
hal itu seperti tidak berdampak. Beda dengan dampak nyata karhutla yang jelas
merusak.
Sepertinya ada pihak yang mempunyai program/kegiatan karhutla. Bukan atau
jangan diartikan ada skenario global.
Bangsa pribumi di tahun politik 2018 wajib bersyukur dan berterima kasih
berat kepada pemerintah. Berkat adanya pesta olahraga Asian Games XVIII di
Jakarta dan Palembang. Siap dibuka oleh presiden pada tanggal 18.08.2018 maka
karhutla menjadi fokus kepedulian. Jangan sampai asap akibat karhutla
mengganggu prosesi AG XVIII.
Sudah ada satgas atau bahkan densus anti-kebakaran. Ditunjang relawan yang
siap berjibaku sebagai petugas sosial pemadam kebakaran. Garda pemuda siap
tempur menghalau asap jangan sampai merusak citra bangsa.
Rakyat dengan doa manjurnya diharapkan mampu menarik simpati Tuhan Yang Maha Esa, agar hujan turun di kawasan
lokasi kejadian perkara karhutla. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar