jebakan tahun politik, méntal kedelai vs méntal keledai
Urusan perut, anak bangsa pribumi, bumiputera, putera-puteri asli daerah,
anak cucu ideologis, sudah sangat mahir megolah biji kedelai menjadi santapan
penggoyang lidah. Aneka menu bisa disajikan dengan bahan baku kedelai. Menu favorit
rakyat adalah makan nasi putih pulen cukup dengan lauk témpé, dilengkapi dengan
sambal, kecap, kerupuk serta sayur hasil kebun.
Bagaiman proses kedelai hingga menjadi témpé atau menu lainnya, sudah
rahasia umum. Justru proses kedelai diinjak-injak untuk sampai menjadi témpé,
merupakan ciri khas. Dengan daya rasa, cipta, karsa si penginjak kedelai, akan
membuat rasa témpé lebih akrab dengan lidah.
Kalau ujar Bung Karno :”Kita bukan bangsa témpé!”. Sejarahlah yang menjadi
saksi dan membuktikannya.
Benar, betul kalau bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa menunjukkan suku
bangsa. Setiap bangsa bahkan mempunyai peribahasa.
Agaknya bangsa Indonesia mengenal binatang, hewan keledai dari peribahasa :
“Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali”. Ikhwal keledai dijelaskan di
dalam kitab hadist shahih Imam Bukhari.
Urusan bawah perut. Karena manusia bukan keledai, bisa saja dengan sadar
memerosokkan dirinya secara rutin ke satu lubang. Terjadi karena sebagai efek
domino loyalitas yang total jenderal. Loyalitas buta tapi melek berhala
reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa).
Menjadi sang loyalis atau penyandang asas patuh, taat karena terjebak
politik balas jasa, balas bud sekaligus politik balas dendam. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar