Halaman

Senin, 26 Februari 2018

jebakan tahun politik, méntal kedelai vs méntal keledai



jebakan tahun politik, méntal kedelai vs méntal keledai

Urusan perut, anak bangsa pribumi, bumiputera, putera-puteri asli daerah, anak cucu ideologis, sudah sangat mahir megolah biji kedelai menjadi santapan penggoyang lidah. Aneka menu bisa disajikan dengan bahan baku kedelai. Menu favorit rakyat adalah makan nasi putih pulen cukup dengan lauk témpé, dilengkapi dengan sambal, kecap, kerupuk serta sayur hasil kebun.

Bagaiman proses kedelai hingga menjadi témpé atau menu lainnya, sudah rahasia umum. Justru proses kedelai diinjak-injak untuk sampai menjadi témpé, merupakan ciri khas. Dengan daya rasa, cipta, karsa si penginjak kedelai, akan membuat rasa témpé lebih akrab dengan lidah.

Kalau ujar Bung Karno :”Kita bukan bangsa témpé!”. Sejarahlah yang menjadi saksi dan membuktikannya.

Benar, betul kalau bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa menunjukkan suku bangsa. Setiap bangsa bahkan mempunyai peribahasa.

Agaknya bangsa Indonesia mengenal binatang, hewan keledai dari peribahasa : “Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali”. Ikhwal keledai dijelaskan di dalam kitab hadist shahih Imam Bukhari.

Urusan bawah perut. Karena manusia bukan keledai, bisa saja dengan sadar memerosokkan dirinya secara rutin ke satu lubang. Terjadi karena sebagai efek domino loyalitas yang total jenderal. Loyalitas buta tapi melek berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa).

Menjadi sang loyalis atau penyandang asas patuh, taat karena terjebak politik balas jasa, balas bud sekaligus politik balas dendam. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar