ketika ki Jokiwo gosok mata, usap dada dan tepuk jidat
Media massa asing yang
benar-benar asing. Artinya, kantor sang media memang ada di negaranya. Bukan yang
punya cabang atau buka praktik di NKRI. Suatu ketika – tidak diketahui kapan
dan di mana – menayangkan gambar seorang manusia atau anak wayang yang berdiri
lunglai di samping sang dalang merangkap sutradara, penulis skenario, pencari
bakat, pencatat adegan. Soal siapa sponsor kejadian perkara.
Kendati tidak disebut
jati diri sang anak wayang, publik penggemar wayang sudah tahu siapa sosok atau
minimal yang mirip atau yang layak diduga mempunyai kemiripan yang meyakinkan. Dikwatirkan,
jangan-jangan si dalang salah ambil wayang. Atau salah ambil kotak wayang.
Jelas lakonnya adalah “Petruk mbangun negoro”, yang muncul malah wayang tokoh
ahli tangan kosong. Bukan Pencak Silat atau bela diri yang ada di Nusantara. Betapa
kerugian negara mengalihfungsikan hutan ata menjual pulau kecil, terpencil,
terluar. Di lain pihak, ada pihak yang diuntungkan dengan perluasan daratan.
Kalau ada cupilkan
adegan wayang Antareja atau Antasena bisa mabur, itu berkat pil ajaib atau efek
baca mantra.
Lain dalang, diselipi
selingan guyon politik. Verarti wayang kulit. Dursasana (baca, dursosono), adik
kandung raja Astina, merasa risi kalau dipanggil dengan sebutan “Duur”. Maunya diceluk “Son” secara jelas disertai rasa
hormat.
Memang setaip anak
wayang mempunyai spesifikasi, karakter dan watak peradaban. karena wayang,
agaknya kejadian perkara tergantung skenario penguasa.
Di panggung wayang atau
kehidupan manusia zaman pasca wayang, seolah memang ada skenario besar tapi
olahan manusia. yang mana dimana, jelas menentukan siapa akan jadi apa. Siapa akan
memerankan apa. Kapan tampil dan berapa lama.
Betara Guru atau danyang
yang menguasai ndonyo, seolah teringkirkan
secara perlahan dan pasti. Pensiun dini. Dilain pihak, banyak dedemit yang
dikarbit menjadi jadi-jadian. Namanya politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar