Halaman

Senin, 19 Februari 2018

ketika penguasa tunggal alastiban mengkarbit, mengorbit dedemit



ketika penguasa tunggal alastiban mengkarbit, mengorbit dedemit

Hutan saja, di dunia manusia, ada penguasa, pembesar, penggedenya, yaitu menteri lingkungan hidup dan kehutanan. Bedanya, sang menteri tidak bermarkas di hutan. Lema ‘hutan’ menjadi bisa. Bisa diartikan sebagai belukar, rimba, belantara, alas atau sebutan khas daerah.

Siapa sangka kalau barang hutan khususnya  kayu pohon bisa merubah wajah suatu negara. Pohon yang tumbuh di hutan bukannya tak bertuan.

Sebagai negara yang menggunakan hukum, maka makanya justru yang berlaku dominan adalah “hukum rimba”.

Karena rimba tidak lagi angker. Sebagai sumber bencana alam akibat hutan gundul. Sebagai pabrik asap yang diekspor gratis dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Semua kejadian yang dilakukan umat manusia, akan lebih mengemuka jika dibalut dengan ramuan politik. Dikemas dalam rupa kebijakan politik. Akhirnya “hukum rimba” berubah tampilan, tayangan, kemasan menjadi “restu istana”.

Bukannya lantas dibilang kalau raja hutan bermarkas di istana.

Bukan sebagai tandingan kalau ada obrolan rakyat ala warung kopi. Eksistensi warung kopi masuk hitungan sebagai lokasi yang serba mungkin. Bisa sebagai sumber informasi, sumber inspirasi.

Reformasi adalah hutan nasional yang jabatan raja hutan dilelang melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Penguasa hutan agar langgeng memang seperinya wajib mengantingi jimat refomasi, yaitu 3K (kaya, kuat, kuasa).

Untuk mempertankan status konstitusional sebagai raja hutan, dukungan loyalitas total jenderal baru setengahnya. Sisanya diharapkan bantuan dari penguasa utama hutan naga. Peruntungan menjadi acuan utama kalkulasi politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar