ketika penguasa tunggal alastiban mengkarbit, mengorbit dedemit
Hutan saja, di dunia
manusia, ada penguasa, pembesar, penggedenya, yaitu menteri lingkungan hidup dan
kehutanan. Bedanya, sang menteri tidak bermarkas di hutan. Lema ‘hutan’ menjadi
bisa. Bisa diartikan sebagai belukar, rimba, belantara, alas atau sebutan khas
daerah.
Siapa sangka kalau
barang hutan khususnya kayu pohon bisa
merubah wajah suatu negara. Pohon yang tumbuh di hutan bukannya tak bertuan.
Sebagai negara yang
menggunakan hukum, maka makanya justru yang berlaku dominan adalah “hukum rimba”.
Karena rimba tidak lagi
angker. Sebagai sumber bencana alam akibat hutan gundul. Sebagai pabrik asap
yang diekspor gratis dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Semua kejadian yang
dilakukan umat manusia, akan lebih mengemuka jika dibalut dengan ramuan
politik. Dikemas dalam rupa kebijakan politik. Akhirnya “hukum rimba” berubah
tampilan, tayangan, kemasan menjadi “restu istana”.
Bukannya lantas dibilang
kalau raja hutan bermarkas di istana.
Bukan sebagai tandingan
kalau ada obrolan rakyat ala warung kopi. Eksistensi warung kopi masuk hitungan
sebagai lokasi yang serba mungkin. Bisa sebagai sumber informasi, sumber
inspirasi.
Reformasi adalah hutan
nasional yang jabatan raja hutan dilelang melalui pemilihan umum legislatif dan
pemilihan presiden. Penguasa hutan agar langgeng memang seperinya wajib
mengantingi jimat refomasi, yaitu 3K (kaya, kuat, kuasa).
Untuk mempertankan
status konstitusional sebagai raja hutan, dukungan loyalitas total jenderal
baru setengahnya. Sisanya diharapkan bantuan dari penguasa utama hutan naga. Peruntungan
menjadi acuan utama kalkulasi politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar