kebablasen édané, perolehan suara 2014 menentukan nasib presiden 2019
Babak penyisihan laga kandang pesta demokrasi 2019, belum-belum sudah
membutuhkan korban dalam berbagai bentuk. Sebut saja UU tentang Pemilu, sebagai
hasil bagi keuntungan pemerintah di éra mégatéga 2014-2019.
Penguasa berharap masih bisa melenggang ke periode 2019-2024. Wajar dan tak
perlu dipertentangkan. Namanya syahwat politik yang tak beda jauh dengan dunia
LGBT. Yang mana, dimana hukum agama tidak berlaku. Mereka hidup di dunianya
sendiri. Lengkap dengan aturan main, kode etik atau kebijakan lokal.
Padahal, petani padi dengan segala peras keringatnya nyaris rutin. Jelang panen,
ada saja kondisi yang terjadi. Traktor tangan bantuan gartis dari presiden,
menjadi saksi betapa gigihnya kaum petani. Kondisi yang paling menyakitkan
ternyata hasil panen petani masih kurang. Jauh dari harapan ketahanan pangan
dan kemandirian pangan. Impor beras menjadi solusi jitu.
Jangan main pasal jika tak ingin terjegal maupun terjagal. Apalagi bermain
BBM. Dalih minyak dunia diprakirakan akan merambat naik, maka pemerintah wajib
mengambil kebijakan tanpa perlu sosialisasi ke masyarakat.
Mengaca dan mengacu pada dunia sepakbola Nusantara, tak ada salahnya nanti
ada petugas partai hasil naturalisasi.
Di pihak lain, kalangan industri yang selama ini menjadi pelanggan utama
listrik PLN, entah gulung tikar atau kontrak habis atau lebih memilih lokasi
yang tenaga kerja murah meriah. Diimbangi lampu rumah tangga yang hemat energi.
Serta susutnya pasokan air di PLTA, berakibat industri politik Nusantara terdampak
secara manual.
Kasihan petani, menanam padi yang tumbuh subur malah rumput liar.
Rakyat Nusantara mau menyuburkan ideologi Pancasila, malah dianggap akan
makar. Minimal didakwa pasal berlapis, kombinasi pasal hina presiden, pasal
perbuatan tidak menyenangkan penguasa, pasal merontokkan wibawa negara di mata
investor politik, pasal bertindak “main polisi sendiri”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar