nabok nyilih tangané wong
édan
Apapun kejadian yang seolah secara normatif wajar, masuk akal, manusiawi
akan terjadi di tahun politik 2018. Tak perlu burung sangka bahwa semua yang
sudah, sedang, maupun akan terjadi ada kaitannya dengan modus, manuver,
gerakan, langkah, rekayasa politik.
Namanya politik, segala cara, taktik, strategi, pola akan dipakai. Tujuannya
cuma satu yaitu merebut, merebut kembali dan/atau mempertahankan kekuasaan
secara konstitusonal, legal dan demokratis.
Praktik demokrasi memang membutuhkan banyak “pengorbanan”. Pengorbanan yang
nyata dan terukur adalah biaya politik. Semakin tinggi, semakin lama kekuasaan
yang diincar berbanding lurus dengan kebutuhan biaya politik.
Tak salah jika tahun politik 2018 akan menentukan peta politik 2019. Pelaksanaan
pemilihan umum legislatif bersamaan, serentak dengan pelaksanaan pemilihan
presiden, akan digelar pada hari Rabu, 17 April 2019.
Hanya ada dua pihak utama yang berkepentigan dengan sukses pilkada serentak
2018 dan pemilu legislatif serentak pilpres 2019. Pihak pertama adalah manusia
politik yang terlibat langsung. Sebagai pelaku utama. Sedangkan pihak kedua,
adalah manusia ekonomi. Mulai skala multinasional sampai investor politik. Memang,
pada dasarnya manusia ekonomi tak mau tahu siapa yang akan keluar jadi
pemenang. Yang penting adalah agar usahanya tidak terganggu dengan kebijakan
politik penguasa baru.
Kalau ada kasus “orang gila masuk pesantren” atau modus sejenis lainnya. Umat
Islam dan rakyat yang masih mengutamakan rasa nasionalisme, persatuan Indonesia,
bela negara tak perlu mengikuti gendang yang ditabuh oleh pihak pembuat
kerusuhan. Mereka bukan sekedar memancing, menjala ikan di air keruh. Mereka justru
sebagai ahli memperkeruh suasana.
Memang orang gila bisa bebas dari jeratan pasal hukum positif maupun hukum
agama. Yang lebih gila lagi, justru pihak yang memanfaatkan celah hukum orang
gila. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar