Halaman

Sabtu, 24 Februari 2018

partai wong cilik jenuh serapan ideologi asing



partai wong cilik jenuh serapan ideologi asing

Namanya politik, modus, rekadaya, taktik, pola, kiat, rumusan apapun tetap dipertimbangkan. Bukan masalah haram atau halal. Mengingat keberbasisan pada aspek konstitusi, legal aspek secara yuridis formal dan ketatanegaraan maka semua tadi menjadi bagian integral.

Yang jelas, bahwasanya wong bodho nanging sering nglakoni, luwih pinter karo wong pinter nanging durung tau nglakoni.

Artinya, walau akhirnya malah berlangganan terperosok ke lubang yang sama, bukan sebagai bentuk ke-“keledai”-an. Hanya diangap sebagai dinamika berpolitik tanpa ideologi.

Lazim jika anak garuda tidak bisa menjadi garuda seutuhnya. Karena dalam babakan durung tau nglakoni diwujudkan menjadi merasa sudah bisa atau merasa bisa menjadi garuda sejati. Merasa lebih garuda ketimbang garuda.

Bukan politik namanya jika harus mengedepankan, mengutamakan, maupun menomorsatukan rasa nasionalisme berkebangsaan.

Rasa nasionalisme generasi dengan cita rasa ala kadarnya, bukan diukur dari keloyalan menggunakan produk dalam negeri, mengkonsumsi pangan hasil panen di negeri sendiri, atau mengandalkan sekolah di dalam negeri saja. Tentu bukan. Atau menjadi budak di negeri sendiri. Atau menghamba pada sistem atau orang secara politis agar merasakan nikmat dunia. Juga bukan kawan.

Rasanya, kalau hanya mengandalkan perasaan, memangnya kita terjajah oleh ideologi yang mengedapankan serta mengutamakan kepentingan partai daripada kebutuhan rakyat. Namanya politik, susah payah mendirikan partai politik, berdarah-darah mempertahankan keberadaan partai politik, kalau bukan untuk kepentingan individu, percuma Bung!

Sepakbola saja memanfaatkan pemain naturalisasi, jadi pemain politik agar tetap eksis atau jago kandang. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar