partai wong cilik jenuh serapan ideologi asing
Namanya politik, modus, rekadaya, taktik, pola, kiat,
rumusan apapun tetap dipertimbangkan. Bukan masalah haram atau halal. Mengingat
keberbasisan pada aspek konstitusi, legal aspek secara yuridis formal dan
ketatanegaraan maka semua tadi menjadi bagian integral.
Yang jelas, bahwasanya wong bodho nanging sering nglakoni, luwih pinter karo
wong pinter nanging durung tau nglakoni.
Artinya, walau akhirnya malah berlangganan terperosok
ke lubang yang sama, bukan sebagai bentuk ke-“keledai”-an. Hanya diangap
sebagai dinamika berpolitik tanpa ideologi.
Lazim jika anak garuda tidak bisa menjadi garuda
seutuhnya. Karena dalam babakan durung tau nglakoni diwujudkan
menjadi merasa sudah bisa atau merasa bisa menjadi garuda sejati. Merasa lebih
garuda ketimbang garuda.
Bukan politik namanya
jika harus mengedepankan, mengutamakan, maupun menomorsatukan rasa nasionalisme
berkebangsaan.
Rasa nasionalisme
generasi dengan cita rasa ala kadarnya, bukan diukur dari keloyalan menggunakan
produk dalam negeri, mengkonsumsi pangan hasil panen di negeri sendiri, atau
mengandalkan sekolah di dalam negeri saja. Tentu bukan. Atau menjadi budak di
negeri sendiri. Atau menghamba pada sistem atau orang secara politis agar
merasakan nikmat dunia. Juga bukan kawan.
Rasanya, kalau hanya
mengandalkan perasaan, memangnya kita terjajah oleh ideologi yang mengedapankan
serta mengutamakan kepentingan partai daripada kebutuhan rakyat. Namanya
politik, susah payah mendirikan partai politik, berdarah-darah mempertahankan
keberadaan partai politik, kalau bukan untuk kepentingan individu, percuma
Bung!
Sepakbola saja
memanfaatkan pemain naturalisasi, jadi pemain politik agar tetap eksis atau
jago kandang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar